Presiden Jokowi Pindah ke Istana Bogor: Istana Bogor sebagai Saksi Sejarah (Bagian Pertama)

Moh Habib Asyhad

Penulis

Presiden Jokowi Pindah ke Istana Bogor: Istana Bogor sebagai Saksi Sejarah (Bagian Pertama)

Intisari-Online.com -Istana Bogor tengah ramai dibicarakan. Apalagi kalau bukan soal rencana presiden pindah ke sana. Benar, ada desas-desus Presiden Jokowi pindah ke Istana Bogor. Ada yang bilang, Presiden menginginkan suasana yang lebih tenang, ada yang berspekulasi Presiden ingin menjaga jarak dari partai-partai pendukungnya. Sementara Terlepas dari itu semua, Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto mengatakan, Presiden ingin memanfaatkan fasilitas yang ada.

Terkait kemegahan Istana Bogor, Intisari edisi Desember 1996 pernah membuat tulisan wartawan Kompas, St. Sularto, yang berjudul “Ketemu Si Denok di Istana Bogor”.

---

Kami (peserta Penataran Pemimpin Redaksi dan Pelaku Media Massa yang diadakan oleh BP7 Pusat) memasuki pintu gerbang istana, Kamis sore, 19 September 1996. Segera terbayang di benak kami tonggak-tonggak peristiwa penting yang pernah terjadi di sini.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dirancang dan ditandatangani di sini. Tim Sebelas-lah yang merancang dan mengetiknya. Bung Karno menandatanganinya setelah menanyakan dasar hukumnya. Baru sore harinya naskah dibawa ke Jakarta untuk dibacakan dan secara resmi mengakhiriberlakunya UUD Sementara.

Peristiwa bersejarah yang mengubah secara drastis negara kita, Surat Perintah 11 Maret, juga ditandatangani di sini, tepatnya di Paviliun Madukara, salah satu dari enam paviliun di sana. Peristiwa bersejarah mutakhir adalah Pertemuan 18 Pemimpin Ekonomi APEC dua tahun lalu, yang kemudian menelurkan Deklarasi Bogor.

Tak ketinggalan pula, dua kali para konglomerat Indonesia dikumpulkan di sini, untuk diketuk hatinya bagi upaya menghapus kemiskinan. Dalam kaitan peristiwa-peristiwa penting iru, sungguh relevan kalau penataran-penataran P4 tingkat nasional diselenggarakan di sini. Penataran tingkat nasional, pena-taran calon manggala, pertama kali diselenggarakan tahun 1979. Sedangkan penataran yang kami ikuti ini adalah yang ke-25. Dengan tambahan 72 petatar, kini telah ada 700 manggala.

"Manggala adalah pendidik bangsa dan juru bicara negara," menurut Kepala BP7Pusat Soeprapto MEd. Dengan memilih Istana Bogor sebagai lokasi penataran, diharapkan akan semakin kuat pula keyakinan para peserta tentang nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD '45.

Memasuki halaman utama dari serambi depan, kami berada di Ruang Teratai. Nama ini diambil dari lukisan bunga teratai karya C.L. Dake (1952) yang tergantung di sana. Permadani merah menutupi seluruh lantai dengan tiga lampu kristal terjuntai di atasnya. Saat berlangsung Pertemuan APEC November 1994, ruang inilah yang digunakan sebagai tempat penyambutan dan ruang tunggu peserta.

Melangkah melewati koridor yang diapit dua Kaca Seribu, kami sampai di Ruang Garuda. Disebut demikian karena di sana ditempatkan lambang Garuda Pancasila berukuran besar. Ruangan ini ditopang 16 pilar besar bergaya Korintia. Langit-langit berwarna putih dihiasi relief Yunani. Biasanya ruangan ini dipakai untuk pertemuan-pertemuan besar, misalnya Jakarta Informal Meeting ataupun APEC. Sidang-sidang pleno penataran P4 tingkat nasional ke-25 pun diselenggarakan di sini.

Berbelok ke kanan lewat koridor, sampailah kami pada bangunan sayap kanan yang memiliki beberapa ruang tidur dan ruang makan. Bangunan ini dipakai untuk menerima tamu setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan.

Di antara ruang kanan dan kiri terdapat meja makan berukuran besar. Satu di antara ruang tidur itu disebut Ruang Raja. Tempat tidurnya cukup megah, berukuran 225 x 284 cm. Maklumlah, sedianya kamar tersebut disiapkan untuk peraduan Raja Ibnu Saud (1880 - 1953, ayahanda raja Arab Saudi, Raja Fahd). Ukurannya dibuat ekstra panjang, karenabaginda tergolong manusia jangkung. Sayang, beliau batal datang. Namun akhirnya tak sia-sia juga ranjang itu dibuat, ketika tahun 1976 Wisma Negara di Istana Merdeka membutuhkannya untuk peraduan PM Australia Malcolm Eraser, yang tak kalah jangkungnya.

Bangunan utama dan sayap kiri dihubungkan oleh Ruang Film yang dahulu sering dipakai untuk pemutaran film. Pada masa Bung Karno tinggal di sana, 3x seminggu diputar film-film yang belum disensor. Menurut Ny. Hartini, kegerharan Bung Karno itu film-film koboi. Dipisahkan oleh ruang makan yang kapasitasnya lebih besar dibandingkan dengan yang ada di sayap kanan, kami tiba di ruang kerja Bung Karno, berdampingan dengan perpustakaan.