Find Us On Social Media :

W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (2)

By K. Tatik Wardayati, Senin, 9 Maret 2015 | 18:30 WIB

W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (2)

Intisari-Online.com – Tanggal 9 Maret merupakan Hari Musik Nasional. Hari ini, pun tepat hari Senin, bertepatan dengan lahirnya komponis besar Indonesia, yaitu W.R. Supratman. Kami turunkan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari tentang W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan  Biolanya.

--

Melego pakaian, sepatu, dan arloji

Setelah ±4 bulan di Kaoem Kita, W.R. Supratman mengadu nasib ke Jakarta. Bersama Parada Harahap, ia mendirikan Biro Pers Alpena (Algemene Pers en Nieuws Agent'schap). Belum genap setahun, Alpena senin-kamis kekurangan modal. Ia pun terpaksa melego pakaian, sepatu, dan arlojinya untuk bisa menyambung hidup di Jakarta. Hanya tinggal satu setel jas-celana putih, pakaian kerja dekil, sepasang sepatu, sarung, peci, kacamata, sebuah tas kulit, dan koper pakaian.

Wage sempat bimbang memilih profesi: tetap jadi wartawan atau menggesek biola. Namun ketika Sin Po, surat kabar Cina-Melayu paling luas peredarannya, mencari seorang wartawan Melayu, ia melamar dan diterima sebagai pembantu lepas.

Gedung Pertemuan di Gang Kenari milik Mohammad Husni Thamrin (anggota Volksraad) dan Gedung IC (Indonesisch Clubgebow) Kramat 106 (kini Museum Sumpah Pemuda), Jakarta, makin sering  dikunjunginya. Makin banyak pula tokoh pemuda atau pers dikenalnya.

Di antaranya, Saerun (wartawan senior yang mendorong W.R. Supratman menulis buku roman Perawan Desa (1929)--meski urung beredar karena keburu disita Belanda, Haji Agus Salim (pemimpin Surat Kabar Fajar Asia, Jakarta), dan Muhammad Tabrani (redaktur surat kabar Melayu Hindia Baru, juga tokoh Jong Java). Oleh Tabrani, ia diperkenalkan dengan Jamaluddin (Adinegoro) gelar Datuk Marajo Sutari, tokoh Jong Sumatranen Bond, Sumarto dan Suwarso dari Jong Java. Hampir tiap pemimpin pergerakan mengenalnya sebagai Publicist Melayu.

W.R. Supratmari sering memperoleh kesempatan mengikuti macam-macam pertemuan angkatan muda. Antara lain, menghadiri dan meliput Kongres Pemuda Indonesia Pertama yang berlangsung di "Gedung Setan" (sekarang PT Pharmasi) di Jl. Budi  Utomo, tanggal 30 April - 2 Mei 1926. Mendengar pidato beberapa tokoh pemuda, ia sempat kagum dan terharu. Rasa itu diungkapkan kepada Tabrani:

"Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diungkapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Teristimewa pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Dan cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu, saya akan buat. Dan namanya: Indonesia Raya."

Tanggal 27 - 28 Oktober 1928 Wage meliput Kongres Pemuda Indonesia Kedua, yang berlangsung di tiga tempat/yakni Gedung KJB (Katholieke Jongelingen Bond), Gedung Oost Java Bioscoop, dan Gedung IC (Indonesisch Clubgebouw), Kramat 106. Pada 4 Juli 1927 ia hadir meliput peristiwa berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Bahkan ia sempat meliput lahirnya perkumpulan Indonesia Muda, pada 31 Desember 1930, pkl. 00.00, di Surakarta. Yang kemudian mengilhami terciptanya lagu Di Timur Matahari, pada awal 1931.

Bersama wartawan lain diundang secara khusus meninjau Kongres Ketiga Indonesia Muda, tanggal 28 Desember 1932 – 2 Januari 1933 di Gedung Nasional Indonesia, Surabaya. Februari 1933, ia berusaha memperoleh keterangan rinci tentang kasus De Zeven Provincien. Dua puluh tiga orang kelasi pribumi kapal perang tersebut protes atas perlakuan diskriminatif menyangkut gaji, jaminan sosial, dll. Mereka menguasai kapal itu dan tewas dibom pesawat Belanda.

Agustus 1933, ia menulis berita penangkapan Ir. Soekarno pada 30 Juli 1933, yang kemudian diasingkan ke Ende, Flores. Masih ada beberapa kegiatan politik lain diliputnya.