Penulis
Intisari-Online.com – Tanggal 9 Maret merupakan Hari Musik Nasional. Hari ini, pun tepat hari Senin, bertepatan dengan lahirnya komponis besar Indonesia, yaitu W.R. Supratman. Kami turunkan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari tentang W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya.
--
Untuk kedua kalinya, W.R. Supratman tampil memperdengarkan lagu ciptaannya dengan biolanya pada November 1928, ketika berlangsung pertemuan pemuda dan mahasiwa di Gedung Komedi (sekarang Gedung Kesenian), di Jl. Kantor Pos. Hadirin berdiri layaknya menghormati lagu kebangsaan.
Atas permintaan sejumlah pemuda dan mahasiswa, notasi dan lirik lagu Indonesia diperbanyak. Sempat pula dimuat dalam edisi mingguan Sin Po bulan November 1928. Menjelang Kongres Kedua PNI di Jakarta, tanggal 18-20 Mei 1929, W.R. Supratman mengubah judul lagu menjadi Indonesia Raja. Lagu dinyanyikan kelompok paduan suara, lantas diikuti segenap hadirin pada pembukaan kongres tersebut. Dalam keputusan kongres, Indonesia Raja diakui sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Ribuan eksemplar pamflet berjudul Indonesia Raja (Lagoe Kebangsaan Indonesia) dicetakkan di percetakan Sin Po, dan dijual dengan harga f0,20 per eksemplar. Di sampul depan, W.R. Supratman tertulis sebagai publicist.
Tahun 1929, lagu Indonesia Raya sempat dipiringhitamkan oleh Firma Tio Tek Hong di Pasar Baru, Jakarta. Tahun 1930, Yo Kim Can konon juga merekam gesekan biola W.R. Supratman yang melantunkan Indonesia Raya dalam piringan hitam. Di mana rekaman itu disimpan, tak jelas. Sementara di Museum Sumpah Pemuda, Jl. Krgmat Raya 106, tersimpan dua buah piringan hitam, namun belum diketahui isi rekamannya.
Tak hanya populer di kalangan pandu, lagu Indonesia Raya kian sering dikumandangkan di seluruh Nusantara. Kepopulerannya membuat pemerintah Hindia Belanda geram dan melarang lagu tersebut dinyanyikan. Karena para pemuda tidak setuju, Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.C.D de Giaeff mengeluarkan edaran yang menyatakan bahwa Indonesia Raya tidak dapat dianggap sebagai lagu kebangsaan, melainkan hanya lagu perkumpulan biasa.
Beberapa lagu menyusul digubahnya, a.l. Indonesia, Hai Ibuku (Jakarta, 1928), Bendera Kita (Jakarta, 1928), Raden Ajeng Kartini atau Ibu Kita Kartini (Jakarta, 1929), Pandoe Indonesia atau himne KBI (Jakarta, 1930), Di Timur Matahari (Jakarta, 1931), Bangunlah Hai Kawan (Jakarta, 1931), himne Parindra dan himne Surya Wirawan (Surabaya, 1937), dan Matahari Terbit (Surabaya, 1938).
Ditangkap dan ditahan PID
September 1933, WR. Supratman mulai sering demam dan sakit bagian dadanya. Tidak jelas penyakit apa, tumor, radang paru-paru, atau TBC. November 1933 kesehatannya kian memburuk. Tugas meliput Kongres Keempat Indonesia Muda di Semarang, akhir Desernber 1933, tak bisa diembannya.,
Dengan uang hasil menjual mesin ketik dan barang berharga miliknya, ia diantar Salamah tetirah ke Cimahi, di rumah orang tuanya. Merasa, agak sembuh, ia memaksa diri pergi menemui Salamah di Kampung Sawah, Jakarta. Namun, wanita yang dicintainya pergi tanpa pesan setelah menjual rumahnya. Gagal menemui Salamah, ia kembali Cimahi. Tahun 1936, meski kesehatannya pulih, ia mohon berhenti dari Sin Po.
Merasa dibuntuti PID, W.R. Supratman mengungsi ke Pemalang, Jawa Tengah, ke rumah R. Menang Kusnendar Kartodirejo, suami Rukinah Supratinah. Tahun 1937 ia pindah ke Jl. Mangga 21, Surabaya, ikut Rukiyem Supratinah (Ny. W.M. van Eldik). Di Surabaya ia berkenalan dengan Dr. Sutomo, pendiri Indonesische Studieclub. Oleh Dr. Sutomo, selaku ketua Parindra (Partai Indonesia Raya), W.R. Supratman diminta mengisi program pendidikan politik Parindra, tapi ia menolak. Kemudian ia menyumbang Parindra dengan himne Parindra dan himne Surya Wirawan (bagian organisasi pemuda Parindra). Dalam Kongres Pertama Parindra Mei 1937, kedua lagu tersebut dinyatakan sebagai lagu resmi Parindra dan Surya Wirawan.
Tanggal 7 Agustus 1938 Minggu, pukul 17.00, W.R. Supratman ditangkap dua anggota PID ketika memimpin para pandu KBI menyanyikan lagu Matahari Terbit, di ruang pemancar radio NIROM (kini RRI). Pihak PID menuduh lagu tersebut untuk mengelu-elukan tentara Jepang yang mulai mengancam kekuasaan imperialisme Belanda di kawasan Asia Tenggara. Setelah ditahan beberapa lama, ia dibebaskan karena PID tak menemukan bukti.
Beberapa hari selepas dari tahanan ia jatuh sakit. Dalam kondisinya yang parah, kepada sahabatnya Imam Supardi (pemimpin redaksi Majalah Penebar Semangat);W.R. Supratman sempat mengeluh, "Mas, saya ini manusia yang bernasib malang. Saya tidak merasa bahagia-dalam percintaan."
Akhir tahun 1926, Mujenah, gadis Pejambon yang ditaksirnya, dijodohkan orang tuanya. Hubungannya dengan janda kembang Salamah pun tidak disetujui saudara-saudaranya. Belakangan istrinya malah pergi meninggalkannya tanpa pamit.
Minggu, 14 Agustus 1938, ia mengeluh badannya lemas. Sehari kemudian ia tak kuat bangkit dari ranjang. Makan disuapi. Buang air pun mesti dibantu dengan menadahkan pispot. Kepada Urip Kasansengari (kakak iparnya, juga tokoh Surya Wiiawan), ia sempat bicara lirih, "Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia - Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin, Indonesia pasti merdeka."
Tanggal 17 Agustus 1938, sekitar pukul 22.30, ia mengigau, dan sekujur tubuhnya panas, dan menjelang pukul 24.00 ia tak sadarkan diri. Mata terpejam, denyut nadi melemah, napas tersendat-sendat, dan tubuhnya dingin. Sambil menangis, Ny. Van Eldik menggosokkan minyak kayu putih ke sekujur tubuh adiknya. Lewat tengah malam (memasuki hari Kamis, tanggal 18 Agustus 1938), W.R. Supratman meninggal di usia 35 tahun.
Kamis, 18.Agustus 1938, jenazahnya dikebumikan di Kuburan Umum Kapas di Jl. Kenjeran Surabaya. Sanak-saudara dan beberapa sahabatnya hadir melayat. Tanggal 31 Maret 1956, kerangka jenazahnya dipindahkan ke makam Tambak Segaran Wetan, Surabaya.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No..016/T.K./1971, almarhum W.R. Supratman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Gelar Bintang Maha Putra Utama kelas III juga diperolehnya. Semua itu berkat biolanya, yang kini tersimpan di Museum Gedung Pemuda, Jl. Kramat Raya 106, Jakarta.
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Oktober 1995, dengan judul asli W.R. Supratman Wartawan Berjuang dengan Biolanya.