Find Us On Social Media :

W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (3)

By K. Tatik Wardayati, Senin, 9 Maret 2015 | 19:00 WIB

W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya (3)

Intisari-Online.com – Tanggal 9 Maret merupakan Hari Musik Nasional. Hari ini, pun tepat hari Senin, bertepatan dengan lahirnya komponis besar Indonesia, yaitu W.R. Supratman. Kami turunkan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari tentang W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan  Biolanya.

--

Untuk kedua kalinya, W.R. Supratman tampil memperdengarkan lagu ciptaannya dengan biolanya pada November 1928, ketika berlangsung pertemuan pemuda dan mahasiwa di Gedung Komedi (sekarang Gedung Kesenian), di Jl. Kantor Pos. Hadirin berdiri layaknya menghormati lagu kebangsaan.

Atas permintaan sejumlah pemuda dan mahasiswa, notasi dan lirik lagu Indonesia diperbanyak. Sempat pula dimuat dalam edisi mingguan Sin Po bulan November 1928. Menjelang Kongres Kedua PNI di Jakarta, tanggal 18-20 Mei 1929, W.R. Supratman mengubah judul lagu menjadi Indonesia Raja. Lagu dinyanyikan kelompok paduan suara, lantas diikuti segenap hadirin pada pembukaan kongres tersebut. Dalam keputusan kongres, Indonesia Raja diakui sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Ribuan eksemplar pamflet berjudul Indonesia Raja (Lagoe Kebangsaan Indonesia) dicetakkan di percetakan Sin Po, dan dijual dengan harga f0,20 per eksemplar. Di sampul depan, W.R. Supratman tertulis sebagai publicist.

Tahun 1929, lagu Indonesia Raya sempat dipiringhitamkan oleh Firma Tio Tek Hong di Pasar Baru, Jakarta. Tahun 1930, Yo Kim Can konon juga merekam gesekan biola W.R. Supratman yang melantunkan Indonesia Raya dalam piringan hitam. Di mana rekaman itu disimpan, tak jelas. Sementara di Museum Sumpah Pemuda, Jl. Krgmat Raya 106, tersimpan dua buah piringan hitam, namun belum  diketahui isi rekamannya.

Tak hanya populer di kalangan pandu, lagu Indonesia Raya kian sering dikumandangkan di seluruh Nusantara. Kepopulerannya membuat pemerintah Hindia Belanda geram dan melarang lagu tersebut dinyanyikan. Karena para pemuda tidak setuju, Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.C.D de Giaeff mengeluarkan edaran yang menyatakan bahwa Indonesia Raya tidak dapat dianggap sebagai lagu kebangsaan, melainkan hanya lagu perkumpulan biasa.  

Beberapa lagu menyusul digubahnya, a.l. Indonesia, Hai Ibuku (Jakarta, 1928), Bendera Kita (Jakarta, 1928), Raden Ajeng Kartini atau Ibu Kita Kartini (Jakarta, 1929), Pandoe Indonesia atau himne KBI (Jakarta, 1930), Di Timur Matahari (Jakarta, 1931), Bangunlah Hai Kawan (Jakarta, 1931), himne Parindra dan himne Surya Wirawan (Surabaya, 1937), dan Matahari Terbit (Surabaya, 1938).

Ditangkap dan ditahan PID

September 1933, WR. Supratman mulai sering demam dan sakit bagian dadanya. Tidak jelas penyakit apa, tumor, radang paru-paru, atau TBC. November 1933 kesehatannya kian memburuk. Tugas meliput Kongres Keempat Indonesia Muda di Semarang, akhir Desernber 1933, tak bisa diembannya.,

Dengan uang hasil menjual mesin ketik dan barang berharga miliknya, ia diantar Salamah tetirah ke Cimahi, di rumah orang tuanya. Merasa, agak sembuh, ia memaksa diri pergi menemui Salamah di Kampung Sawah, Jakarta. Namun, wanita yang dicintainya pergi tanpa pesan setelah menjual rumahnya. Gagal menemui Salamah, ia kembali Cimahi. Tahun 1936, meski kesehatannya pulih, ia mohon berhenti dari Sin Po.

Merasa dibuntuti PID, W.R. Supratman mengungsi ke Pemalang, Jawa Tengah, ke rumah R. Menang Kusnendar Kartodirejo, suami Rukinah Supratinah. Tahun 1937 ia pindah ke Jl. Mangga 21, Surabaya, ikut Rukiyem Supratinah (Ny. W.M. van Eldik). Di Surabaya ia berkenalan dengan Dr. Sutomo, pendiri Indonesische Studieclub. Oleh Dr. Sutomo, selaku ketua Parindra (Partai Indonesia Raya), W.R. Supratman diminta mengisi program pendidikan politik Parindra,  tapi ia menolak. Kemudian ia menyumbang Parindra dengan himne Parindra dan himne Surya Wirawan (bagian organisasi  pemuda Parindra). Dalam Kongres Pertama Parindra Mei 1937, kedua lagu tersebut dinyatakan sebagai lagu resmi Parindra dan Surya Wirawan.