Penulis
Intisari-Online.com – Tepat hari ini adalah Hari Buku. Kami sajikan tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari, sajian khusus tentang Hari Buku. Senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, adalah buku. Begitu ujar Mochtar Lubis. Republik Indonesia banyak memiliki tokoh pergerakan yang berjuang bersenjatakan buku dalam mengusir penjajah.
--
Masih ingat Adam Malik? Jenjang pendidikan Wakil Presiden Rl periode 1978 - 1983 ini hanya sampai pendidikan dasar. Namun, berkat bakat membaca sangat menolongnya dalam belajar secara autodidak. Wawasan dan pemikirannya tak kalah dari mereka yang bersekolah sampai pendidikan tinggi.
Buku sangat berjasa dalam seluruh riwayat perjuangan dan pengabdian Adam Malik terhadap nusa dan bangsa. Di akhir hidupnya Adam Malik mewariskan 6.000 buku di gudang. Rak yang tersedia tak mampu menampung buku-buku koleksinya.
Jika menengok para tokoh pemimpin bangsa ini, akan terlihat bahwa dalam perjalanan hidup mereka, buku tak lepas dari keseharian mereka. Bung Hatta sangat getol membaca buku-buku ilmiah yang tebal-tebal. Dalam perbincangannya dengan Cindy Adams, Bung Karno pernah menyatakan, "Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca."
Kaya Karena Buku
Dalam buku karya Rosihan, Musim Berganti, seorang mahasiswa Belanda bertanya kepada Bung Karno (BK) yang sedang dibuang ke Bengkulu tahun 1938. "Tuan, saya lihat tuan telah membaca semua buku yang Tuan pesan dengan sungguh-sungguh sekali. Mengapa Tuan belajar begitu giat?" Bung Karno menjawab, "Orang muda, saya harus belajar giat sekali karena insyaallah saya akan menjadi presiden di negeri ini". Tujuh tahun kemudian hal itu menjadi kenyataan.
Buku sudah diakrabi BK semenjak ia indekos di rumah tokoh nasional H.O.S. Tjokroaminoto ketika menuntut ilmu di Hogere Burger School. BK betul-betul digembleng oleh Tjokro dengan cara memberikan buku-buku pengetahuan. Tak heran jika Soekarno muda sudah menjadikan buku sebagai temah hidup.
"Sementara yang lain-lain bermain, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah," tuturnya kepada Cindy Adams. Bahkan bagi BK, membaca bukanlah monolog, tapi dialog. "Di dalam dunia pemikiranku, aku pun berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris; aku berhadapan dengan Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia. Aku berhadapan dengan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin dari Rusia. Aku juga bisa mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis."
Setelah mengunyah banyak buku kaliber dunia, akhirnya BK tersadar oleh tulisan pemikir dari India, Swami Vivekananda. "Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan." Sejak itu BK mulai menerapkan apa-apa yang telah dibacanya. Nasionalismenya pun mulai tumbuh.
Tak hanya BK yang membawa buku meski di pembuangan. Ketika dibuang ke Boven Digul, Papua, Bung Hatta membawa 16 peti bukunya. Buku-buku yang dibawa sepulang dari belajar ekonomi di Belanda itu pun diangkut lagi ketika ia dipindahkan ke Banda Neira.
Ada kebanggaan tersendiri soal buku bagi Hatta. Selagi menjadi mahasiswa di Rotterdam, ia ke Jerman dan keliling Eropa Tengah. Di Hamburg ia memborong banyak buku di Toko Meissner. Sepulangnya ke Belanda, ia sampai membutuhkan tukang panggul untuk membawa buku-bukunya ke kamarnya. Perlu waktu tiga hari untuk mengatur buku-buku itu di lemari. "Mungkin di waktu itu, aku sendirilah seorang mahasiswa tingkat pertama yang memiliki buku begitu banyak..."
Kegemaran membaca buku membuat ilmu Hatta melebihi mahasiswa setingkat. Haji Agus Salim memujinya ketika Hatta sudah membaca buku Baumhauer. "Dalam waktu tujuh bulan kamu sekolah barangkali engkau belum sampai mempelajari seperempat bagian dari buku Baumhauer. Engkau sudah lebih jauh mempelajari ekonomi dari teman-teman sekelasmu."
Selain kedua tokoh proklamator tadi, Sjahrir juga dikenal sebagai seorang kutu buku. Ia rela menyisihkan sebagian uang sakunya untuk membeli buku-buku yang akan mengasah visi intelektualnya. Visi itu kemudian dituangkannya dalam bentuk tulisan dan dikirimkan ke media, entah surat kabar atau majalah. Di waktu luang Sjahrir mengajari anak-anak muda untuk belajar membaca dan menulis.
Di kalangan intelektual Sjahrir dikenal sebagai tokoh yang pandai meramu ilmu yang diperoleh di bangku sekolah, bacaan, diskusi, dan debat, lalu mengaktualisasikannya ke dalam kancah aksi. Pergerakan "di atas tanah" dan "di bawah tanah" menjadi konsepsi relevan dengan kepentingan negara Indonesia merdeka.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Mei 2005, yang ditulis oleh Mohammad Fahmi, dengan judul asli "Mereka Bersenjatakan Buku".