Penulis
Intisari-Online.com -Teknik “orang Betawi doeloe” menamai jalan dan kawasan ternyata unik. Meski Ridwan Saidi menyebut tiga hal yang lazim menjadi patokan (geometris, kontur tanah, dan flora), selalu ada peluang keluar dari pakem.
“Aktivitas di sebuah tempat bisa menjadi ilham,” sambung Mona Lohanda. Bandengan misalnya, dulu diduga sentra perikanan air tawar. Dipastikan, bandengnya banyak dan gemuk-gemuk. Markas Deparlu kini Pejambon, dulu dipercaya sebagai tempat mewarnai kain. Sedangkan Pacebokan, ada di Kota dan Palmerah, identik dengan tempat pemandian kuda. Kuda biasanya hanya mandi bagian belakangnya, orang Betawi menyebutnya cebok.
Keunikan juga bisa menginspirasi. Dekat Harmoni ada Jl. Pecenongan. Konon, di sini dulu satu-satunya tempat yang mempunyai cenong, lonceng otomatis yang dikemas dalam tabung berdiameter 0,5 m dengan tinggi 2 m. Bagian atasnya ditutupi sejenis tudung, semua bahannya terbuat dari lempengan besi. “Sampai tahun 1950-an, cenong masih terlihat, meski tak jelas untuk apa dibunyikan,” ujar Ridwan Saidi.
Nilai trahsaksi atau harga tanah pun oke buat sebutan. Di Jakarta Selatan, ada Kampung Sereal. Kemungkinan, harga tanah saat itu satu real (Spaanse rijksdaalders). Namun, bila pemilik tanah menolak menjual lahannya atau membayar pajak pada “Kumpeni”, kawasannya mungkin menjadi Tanah Merdeka, seperti yang ada di dekat terminal Kampung Rambutan.
Bagaimana dengan nama tempat berawalan Ci (dari bahasa Sunda = air), seperti Cilincing, Cililitan, atau Cikini? “Mestinya berhubungan dengan sungai atau kali,” tegas Mona. Kata Cikini, dipercaya kependekan dari (Sungai) Ci Kwini yang mengalir di Jakarta Pusat.
Konsep tempat-tempat bersejarah mestinya juga menyangkut asal-usul nama tempat, jalan, dan kawasan yang punya nilai historis. Agar anak-cucu kita tetap tahu, dulu Jakarta pernah punya Gang Zecha (kini Jl. Pintu Air II) yang ditinggali tukang gravir beken bernama Zecha. Gang Belle (Pintu Air III) yang diambil dari nama seorang guru merangkap juru stem piano. Maka, biarlah Jakarta bercerita.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2002 dengan judul “Betawi Tercecer di Jalan”.