Find Us On Social Media :

Mengenang Adnan Buyung Nasution: Membela Tersangka Bukan untuk Membenarkan Perbuatannya

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 23 September 2015 | 13:00 WIB

Mengenang Adnan Buyung Nasution: Membela Tersangka Bukan untuk Membenarkan Perbuatannya

Intisari-Online.com - Pengacara senior Adnan Buyung Nasution telah meninggal dunia pada Rabu (23/9) di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, di usia 81 tahun. Bagi dunia hukum di Indonesia, tentu saja ini adalah sebuah kehilangan yang cukup besar. Tak sebagai pengacara, pria yang kerap disapa “Bang” ini juga dikenal sebagai aktivis, ia juga pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Intisari edisi Oktober 2007 secara khusus pernah mengulas pria yang terkenal dengan jambul putihnya itu.

*** 

Adnan Buyung Nasution, anak Mandailing kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934, ini memang istimewa. Ketika masih hidup, rata-rata setiap hari ia keluar rumah pukul 10.00 dan pulang pukul 23.00 atau 24.00. Padahal, dari empat anaknya, ia sudah punya lebih dari 10 cucu dan dua cicit. Semangat hidupnya menyala setiap kali berhadapan dengan masalah hukum dan bangsa. Sebaliknya, saat bersantai-santai ia malah salah tingkah.

la sudah berhadapan dengan publik pada 1957 ketika menjadi humas kejaksaan. Lalu, tahun 1967-1969, saat menjadi anggota DPR-RI mewakili golongan cendekiawan, pendapatnya sering dikutip media massa. Ia bercerita bahwa ada saja yang menghubunginya dalam kasus-kasus yang diramaikan koran.

“Pagi-pagi lcal (Aburizal) Bakrie dan (M.S.) Hidayat sudah ke rumah Abang waktu Ginandjar (Kartasasmita) ditahan,” ujarnya. Ketika Guberbur Bank Indonesia Syahrir Sabirin diperiksa kejaksaan, Miranda Goeltom, yang masih bersaudara dengan Adnan Buyung, meneleponnya meminta si Abang membantu Syahril. Contoh lain, dalam kasus pelanggaran HAM oleh perwira TNI di Timor Timur (1999), yang mencari-cari Abang adalah Hotma Sitompoel. Dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir (2002), Abang dihubungi M. Assegaf. Hotma dan Assegaf adalah mantan anak buah Abang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Kenapa mau membela kasus-kasus kontroversial, atau bahkan perkara Jenny Rachman yang berselisih dengan wartawan (1985)? “Sering ada rasa iba di hati Abang. Eggak tegaan. Orang yang belum tentu bersalah sudah dihabisi, dicaci maki, dihantam. Saya anggap ini tidak adil,” katanya.

Tapi, benar, pernah suatu kali ia membawa LBH terlibat dalam kasus-kasus yang tengah dibicarakan, agar nama LBH ikut dibicarakan orang. Pendiri LBH (1970) ini menangani kasus-kasus kontroversial juga untuk mengajari anak buahnya. Yaitu untuk berani bersikap.

Apakah berarti kesediaan membela sama dengan membenarkan perbuatannya? “Kalau kita membela tersangka, atau perampok, tidak berarti kita membela perbuatannya, tapi ikut dalam proses mengadili seseorang secara fair,” katanya tegas. Jadi, tidak benar kalau dirinya pernah dijadikan tokoh karikatur dengan tulisan “Maju Tak Gentar Membela yang Bayar” ketika membela Rudi Ramli, bekas pejabat Bank Bali.

Menurut Buyung, ungkapan itu tidak berlaku bagi dirinya. Teramat banyak kasus yang dibelanya secara pro bono (bebas biaya), baik melalui LBH maupun kantor pribadinya, ABNP (Adnan Buyung Nasution and Partners). Bagaimana kalau setelah itu kalah? Baginya, ia telah melakukan perjuangan hukum secara optimal, dengan segala bukti dan argumentasi. “Berapa pun hukumannya, kalau proses itu telah dilalui, saya anggap ini sebagai kemenangan proses hukum.”