Penulis
Intisari-Online.com -Namanya Eko Sutikno (75), dia adalah salah satu orang yang berjasa menyelamatkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Orang-orang seperti Eko-lah yang membuat karya-karya Pulau Buru Pram sampai ke tangan kita.
(Kado Ulang Tahun Istimewa dari Google untuk Pramoedya Ananto Toer) Seperti Pram, pria yang kerap disapa Babe itu adalah tahanan politik Orde Baru. Sebelum “dibuang” ke Pulau Buru, Babe sempat merasakan penjara-penjara di Kendal, Yogyakarta, Semarang, dan Nusa Kambangan. Tapi kita tidak akan bercerita tentang pedihnya siksaan yang diterima Babe, tapi bagaimana dia bertemu dan akhirnya menyelematkan karya-karya Pram. Babe mengenal Pram saat berada di kapal menuju Pulau Buru dari Nusa Kambangan. Perkenalan itu berlanjut ke pertemanan selama selama ditahan di Pulau Buru, bahkan hingga mereka dibebaskan. Menurut Babe, selama berada di Pulau Buru, dialah yang mengamankan semua karya sastra Pramudya. “Saya bisa mengamankan karya karya milik Pram, karena saya dekat dengan petugas-petugas penjara. Saya menyimpannya di kamar mereka,” ujarnya. Bagi Babe, di Pulau Buru kehidupan para tahanan politik lebih enak. Sebab mereka seperti hidup di perkampungan. Bercocok tanam sendiri, hasilnya untuk makan sendiri. Sekitar 10 tahun di pulau Buru, pada 17 November 1979, Babe dan Pramudya dibebaskan. “Setelah bebas, kami berpisah di Bandung. Lalu kami hidup dengan dunia kami sendiri-sendiri,” Babe bercerita. Babe sangat marah dengan kejadian yang menimpanya. Meski begitu, dia tidak tahu, ke mana atau kepada siapa dendam dan sakit hati itu harus dilampiaskan. Sebab semua sudah dia jalani dan telah berakhir. “Semua sudah berakhir. Kalau saya dendam, harus dendam dengan siapa? Semua orang yang menangkap dan mengahajar saya sudah mati. Biarkan saja.” Terlepas dari rasa dendam itu, Babe adalah seorang pahlawan, paling tidak bagi karya dan pembaca-pembaca Pram. (Kompas.com)