Stonehenge sebagai Peramal Gerhana Matahari di Zaman Purba

Moh Habib Asyhad

Penulis

Stonehenge sebagai Peramal Gerhana Matahari di Zaman Purba

Intisari-Online.com -Sepintas, situs ini seperti mainan anak-anak raksasa yang tertinggal di tengah lapangan.

Balok-balok batu besar yang berdiri di sana sini dan dihubungkan satu sama lain dengan balok melintang, persis seperti balok-balok yang disususn oleh anak-anak yang belajar membuat rumah-rumahan. Tapi tumpukan batu ini bukan sembarang tumpukan, oleh beberapa sarjana, Stonehenge—nama tumpukan batu itu—disebut sebagai peramal gerhana matahari di zaman purba.

Sekarang situs ini memang terlihat seperti batu-baru yang berserakan.

Namun monumen-monumen ini dulu merupakan lingkaran batu berjajar-jajar; di dalamnya terdapat batu-batu lain yang diatur seperti tapak kuda yang membuka ke arah timur.

Pada hari terpanjang di musim panas, bila kita berdiri di titik pusat lingkaran, kita akan melihat Matahari terbit persis melalui “Heel stone”, sebuah batu yang terletak di luar lingkaran. (Baca juga:Inilah Masing-masing Waktu Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 di 8 Kota Indonesia)

Sampai akhir abad ke-19, para sarjana masih bimbang siapa pendiri monumen itu dan apa tujuannya.

Ada yang bilang dibuat oleh para pendatang dari Normandia, Denmark, atau Rum, sedangkan yang lain mengatakan batu-batu itu bekas istana Raja.

Dari perhiasan dan barang-barang pejah belah yang ditemukan, dapat diambil kesimpulan bahwa Stonehenge dibangun di antara Zaman Baru dan Zaman Perunggu. (Baca juga: Setelah Gerhana Bulan terbitlah Gerhana Matahari)

Sebelum abad ke-20, pendapat tentang tujuan dan terjadinya bangunan Zaman Perunggu ini masih agak kabur.

Baru pada 1901, Sir Norman Locker, seorang ahli bintang Inggris, memberi petunjuk yang masuk akal. Ia menemukan bahwa garis yang menghubungkan titik pusat Stonehege dengan Heel stone tepat menunjuka ke arah Matahari terbit.

Sekarang, jika dilihat dari titip pusat Stonehenge, terbitnya memang agak ke kiri dari batu ‘Heel stone’ itu, karena jalur perjalanan Matahari agak berubah.

Kalau dihitung kembali, maka Matahari terbit tepat di situ 1840 tahun SM dan akan kembali lagi kira-kira 1000 tahun yang akan datang.

Menurut Locker, kira-kira waktu itu Stonehenge dibangun. Penyelidikan secara modern berbeda setengah abad dengan Locker.

Baru pada 1963 Hawkins berhasil memberi keterangan yang terperinci tentang tujuan batu-batu dan lubang lingkaran sektiarnya.

Tujuannya ialah untuk menghitung gerhana, termasuk Gerhana Matahari.

Ia mengambil kesimpulan itu berdasarkan hasil perthitungan dengan komputer setelah ia memasukkan keterangan tentang Stonehenge dan data astronomi dalam alat itu.

Pendapat ini kemudian mendapat dukungan dari Prof. Fred Hoyle dari Cambride University.

Ahli-ahli bintang Babilonia sudah mengetahui bahwa Gerhana Matahari dan Bulan kembali teratur dalam satu masa “saros”, yakni 18 tahun 7 bulan.

Jangka waktu itu lebih teratur lagi dalam jangka waktu tiga saros, yakni 56 tahun.

Anehnya, bangunan dari batu-baru raksasa itu dikelilingi juga dengan lingkaran yang terdiri atas 50 lubang yang letaknya pada jarak yang teratur.

Lubang-lubang itu dasarnya datar dan isinya gumpalan-gumpalan batu kapur. Ada yang digalilagi dan diisi dengan tulang-tulang manusia bekas dibakar.

Dalamnya lubang kira-kira 60-120 cm. Tempat Bulan, Bumi, dan Matahari dalam hubungan satu sama lain dapat diketahui dengan menaruhkan tanda-tanda, batu atau tiang, di atas lubang-lubang itu.

Metode itu memang tidak selau tepat. Sekali waktu perlu dikoreksi. Namun menurut Hawking, koreksi semacam itu hanya perlu sekali dalam waktu 300 tahun.

Alat komputer elektronis pun adakalanya perlu dikoreksi.

Walaupun Stonehenge dapat digunakan untuk menghitung Gerhana Matahari, Hawking tidak berani memastikan, apakah batu-batu itu memang digunakan untuk tujuan itu. (Intisari, 1966)