Penulis
Intisari-Online.com -Salah satu kegiatan bersama keluarga selama Bulan Puasa adalah mengunjungi tempat-tempat hiburan, tempat-tempat wisata. Bagi yang berada di Jakarta dan sekitarnya, Kota Tua dan Museum Fatahillah Jakarta sepertinya masih menjadi daya tarik utama—apalagi jika sudah menyinggung sisi tergelapnya, sepertinya lebih menarik, bukan?
Pada zaman kompeni Belanda, Museum Sejarah Jakarta adalah Balai Kota Batavia yang juga pusat aktivitas rakyat pada abad ke 17-19. Tiap sore rakyat berkumpul mengambil air bersih dari satu-satunya mata air di halaman depan Balai Kota, ada pula trem yang berjalan dengan rel di depan balai kota. Tapi tak banyak yang tahu, bahwa selain itu, Balai Kota ini juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dan pembantaian massal nan brutal—peristiwa 1740, misalnya.
“Tahun 1740, Gubernur Batavia saat itu (Adriaan Valckenier) memerintahkan untuk membantai orang Tionghoa di depan Balai Kota. Ribuan orang Tionghoa diikat, duduk bersimpuh di depan balai kota, kemudian dari jendela balai kota, gubernur itu memberi kode untuk melakukan eksekusi terhadap orang-orang itu,” ujar Adjie, pemandu Jakarta Food Adventure dalam acara “Explore Kota Tua & The Taste of Dutch & Betawi Culinary”, Minggu (5/6).
Pembantaian yang dikenal dengan nama “Geger Pacinan” itu, menurut Adjie disebabkan oleh isu ekonomi dan politik yang berkembang di Batavia saat itu. “Kejadian itu mencoreng pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dan si gubernur ketika pulang ke Belanda, diadili dan mati di penjara,” tuturnya.
Selain pembantaian tersebut, Museum Sejarah Jakarta juga menjadi saksi bisu dari penderitaan tawanan di penjara bawah tanah untuk wanita dan laki-laki. Ketika air laut pasang, penjara akan terisi air laut, merendam tubuh para tawanan dan membuat kondisi tawanan sungguh menyedihkan. Beberapa tokoh yang sempat merasakan ditahan di sana adalah Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien.
Ada pula kisah Pieter Erberveld, pemberontak yang dihukum mati di halaman selatan Benteng Batavia dengan cara yang kejam. Kedua tangan dan kaki Erberveld serta rekan-rekannya, diikat pada tali tambang. Keempat ujung tali tambang kemudian diikatkan pada kuda-kuda pilihan yang sangat kuat.
Kuda-kuda tersebut dilecut hingga berlari ke arah-arah yang berlawanan. Badan Elberverd dan rekan-rekannya pun terkoyak. Peristiwa tersebut tercatat di monumen pecah kulit yang berada di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta. Bersyukur kini di usia tuanya, Museum Sejarah Jakarta berdiam anggun dengan arsitektur neo-klasik. Ia menjadi saksi bisu wisatawan yang bersenang-senang di halaman depan gedungnya. (Kompas.com)