Pendidikan di Finlandia: Waktu Belajar Hanya Tiga Jam, Tak Ada PR dan Ujian, tapi Jadi yang Terbaik di Dunia

Moh Habib Asyhad

Penulis

Pendidikan di Finlandia: Waktu Belajar Hanya Tiga Jam, Tak Ada PR dan Ujian, tapi Jadi yang Terbaik di Dunia

Intisari-Online.com -Wacana ‘Full Day School’ yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kembali memunculkan pertanyaan: berapa waktu ideal yang dibutuhkan seorang anak di sekolah? Untuk menjawab ini, ada baiknya kita berkaca pada sistem pendidikan di Finlandia.

Di era 1960-an, pendidikan di Finlandia mengalami titik nadir, bahkan sempat kalah dari Amerika Serikat. Tapi seiring berjalannya waktu, sistem pendidikan di negara tersebut terus membaik, membaik, dan membaik. Hingga pada era 2000-an, Finlandia disebut sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Jauh di atas Amerika—apalagi Indonesia.

Terkait hal ini, satiris dan aktivis anti-perang Amerika Serikat Michael Moore tertarik mencari jawabannya. Satu pertanyaan yang ia lontarkan waktu itu: “Apa yang telah mereka lakukan?”

Moore tahu ke mana harus mencari jawabannya. Benar, Menteri Pendidikan setempat. Dan Anda tahu, apa jawaban Ibu Menteri Krista Kiuru terkait pertanyaan Moore tadi? “Mereka tidak pernah diberi PR!”. Ibu Menteri kemudian melanjutkan, “Mereka harus menjadi anak-anak, menjadi remaja, untuk menikmati hidup.”

Setelah dari Menteri Pendidikan, Moore melanjutkan petualangannya ke sekolah-sekolah. Kepada salah seorang guru ia bertanya, berapa lama anak-anak menghabiskan waktunya mereka di sekolah? “Tiga jam sehari, 20 jam dalam seminggu,” jawab guru tersebut.

Dan tiga jam itu tidak diseluruhnya di dalam kelas, justru kegiatan di luar kelas yang diperbanya. “Jika hanya PR, PR, dan PR, tidak ada waktu untuk belajar, dan itu tidak berguna untuk jangka panjang,” ujar Leena Liusvaara, salah seorang kepala sekolah di Finlandia.

Benar, murid-murid di Finlandia memiliki masa pendidikan yang paling pendek dibanding negara-negara lain. Meski demikian, mereka lebih berprestasi dibanding murid-murid di belahan dunia lainnya.

“Kami mengajari mereka untuk bahagia, untuk menghargai orang lain dan dirinya sendiri,” ujar seorang guru matematika di negara yang terletak di wilayah Eropa Utara itu.