Find Us On Social Media :

Mengintip Desa 'Jomlo' di China

By Moh Habib Asyhad, Kamis, 1 September 2016 | 09:30 WIB

Mengintip Desa 'Jomlo' di China

Intisari-Online.com - Oleh masyarakat sekitar, desa Laoya disebut sebagai desanya pada 'jomlo', desanya para bujangan. Pasalnya, sebagian besar penduduk laki-laki di desa yang terletak di Provinsi Anhui, China bagian timur, itu belum kunjung menikah sementara usianya sudah semakin tua.

Salah satunya adalah Xiong Jigen. Meski sudah berkepala empat, Xiong tak kunjung menikah, sehingga oleh orang-orang sekitar ia disebut sebagai bujang lapuk. Julukan yang sama juga disematkan kepada laki-laki lain di desa ituyang jumlahnya tak sedikit.

“Tempat ini terisolasi dan transportasinya sangat sulit,” ujar Xiong, seakan mencari dalih penyebab “ke-jomlo-annya” itu.

Desa Laoya, yang artinya ‘Bebek Tua’, dikenal masyarakat setempat sebagai “desa bujangan” karena populasi laki-laki tak menikah yang tinggi. Menurut sebuah survei pada 2014, sebanyak 112 penduduk pria yang berusia 30 hingga 55 tahun masih menyandang status bujangan. Angka tersebut terbilang tinggi mengingat penduduk Laoya hanya 1.600 orang.

  

Xiong mengaku, ia mengetahui bahwa lebih dari 100 pria desanya belum memiliki pasangan  hidup. “Saya tidak dapat menemukan istri, mereka pindah ke tempat lain untuk bekerja, lalu bagaimana saya bisa menemukan perempuan untuk dinikahi?” kata dia.

Selain itu, kebijakan satu anak di China diyakini menjadi penyebab situasi ini. Secara historis masyarakat di negara yang diperintah Partai Komunis ini lebih menyukai anak laki-laki ketimbang perempuan. Hal tersebut membuat warga negeri ini lebih memilih memiliki satu anak laki-laki dan melakukan aborsi janin bayi perempuan.

  

Akibatnya, sejak 1980, China mengalami surplus pria yang berujung banyak pria negeri tersebut kesulitan mendapatkan istri. Peran orangtua dalam mengupayakan kehidupan terbaik bagi anak-anak mereka masih sangat penting. Keberadaan makcomblang atau perantara untuk mencari pasangan hidup adalah hal yang lazim di desa-desa.

 

Meski demikian, Xiong bukan berarti tidak pernah jatuh cinta. Ia juga pernah pacaran dan menggunakan jasa makcomblang, tetapi tetap saja dia tak kunjung menemukan pasangan hidup. “Beberapa (perempuan) sudah pernah berkunjung ke sini lewat makcomblang. namun, kemudian mereka pergi lagi karena mereka mendapatkan kesan yang buruk tentang transportasi,” kata Xiong.

Sementara itu, para perempuan Laoya, seperti di desa-desa lain di seluruh China, pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Provinsi Anhui, Shanghai, memiliki daya pikat tersendiri bagi para perempuan desa. Di kota metropolitan itu, mereka bisa menemukan pekerjaan jauh lebih baik dan sering kali juga mendapatkan suami. Beberapa di antara para perempuan itu pernah kembali lagi ke kampung halamannya, tetapi tentu saja dalam keadaan sudah menikah.