Penulis
Intisari-Online.com - Hingga 40 tahun setelah kematiannya, China masih belum menemukan tempat untuk Mao Zedong.
Sikapnya yang anti-kapitalisme tidak sejurus dengan wajah modern China, tapi banyak petinggi pemerintah yang berutang kuasa padanya.
Hari ini, 9 September 2016, atau 40 tahun setelah kematiannya, bayang-bayang Mao Zedong belum pudar, seperti dilaporkan Deutche Welle, Jumat (9/9/2016).
Jenazahnya masih bersemayam di jantung kota Beijing. Wajahnya menghiasi hampir setiap dompet dalam bentuk mata uang.
Namun, ironisnya adalah sebuah hal yang tabu di China buat mendiskusikan peran sejarah sang pemimpin besar.
Mao Zedong mewakili dua wajah Partai Komunis China.
Ia dianggap serupa Lenin yang membawa komunisme pada kekuasaan, tapi juga merupakan seorang Stalin yang membantai jutaan nyawa saat berkuasa.
Jelang peringatan 40 tahun kematiannya, 9 September, Partai Komunis China memublikasikan resolusi sepanjang 23.000 kata yang mendeskripsikan Mao.
Disebutkan, Mao sebagai seorang "Marxis besar dan revolusioner proletariat, seorang strategis dan pecinta teori," yang "melakukan kesalahan besar."
"Anda tidak bisa menyentuh kredibilitas, reputasi dan citra Mao tanpa memperlemah pondasi Partai Komunis China," kata pakar politik Universitas Hong Kong, Frank Dikotter.
Di bawah Presiden Xi Jinping, pemerintah China memastikan semua orang menganut pedoman serupa soal Mao.
Prinsip yang dianut mengikuti asas 70-30, bahwa 70 persen kiprah Mao adalah hal baik, sementara sisanya merupakan "kesalahan."
"Ada semacam amnesia yang diwajibkan negara perihal catatan sejarah asli Mao," kata Fei Ling Wang, pakar China di Institut Teknologi Georga
Kritik terhadap Mao pernah berujung pada pemecatan terhadap seorang pembawa acara televisi China tahun lalu.
Tapi memuji ideologinya juga berarti melecehkan wajah kapitalisme China yang dibawa Partai Komunis China dalam beberapa dekade terakhir.
Sejumlah penduduk China masih memuja Mao bak Tuhan, kata Li Yaxing, profesor Maoisme di Universitas Xiangtan, kampung halaman sang pemimpin besar itu.
"Tidak seorangpun sempurna. Bahkan Revolusi Kebudayaan adalah kesalahan yang dia buat dalam mencari bentuk sosialisme dengan karakter China," ujarnya.
Buat Dikotter, hubungan petinggi Partai Komunis China dengan Mao berada pada level personal.
Buat mereka kekacauan pada era Mao juga tercatat dalam sejarah keluarga.
"Kebanyakan pemimpin dan keluarga mereka terlibat menggulirkan Revolusi Kebudayaan, termasuk keluarga Xi Jinping," katanya.
"Semua petinggi partai berkepentingan bahwa sejarah tersebut tidak diutak-utik," imbuh Dikotter.
"Semua berkepentingan bahwa potret Mao tetap terpampang di dinding," katanya.
(kompas.com)