Dari Hobi Berbagi Navigasi

Agus Surono

Penulis

Dari Hobi Berbagi Navigasi

Berwisata akan lebih mantap jika berbekal alat navigasi. Apalagi sekarang ada peta gratisan yang bisa dijadikan acuan. Cakupannya pun sudah seluruh Indonesia. Siapa yang menggratiskan?

Ketika sesuatu sudah menjadi hobi, tak jarang keabsurdan muncul menyertainya. Bisa berwujud materi atau tindakan. Bukan cerita aneh demi sebuah hobi orang rela mengeluarkan uang beratus-ratus juta. Atau demi hobi melakukan tindakan yang menyerempet maut.

Namun, lupakanlah ketakmustahilan menurut ukuran awam itu. Mari, cobalah merenungkan kembali apakah hobi kita itu bisa memberi nilai lebih orang lain? Apakah hobi kita bisa dinikmati orang lain? Ataukah hobi kita ini demi memuaskan keinginan kita? Tak ada salahnya memang memuaskan diri sendiri sebab toh itu hobi kita. Akan tetapi, semoga setelah membaca cerita ini kita semua tersadarkan bahwa dari hobi pun kita bisa berbagi. Kita senang, orang lain senang. Indah bukan?

Itulah yang dilakukan Buyung Akram (38). Sosok ini tak begitu dikenal secara luas. Luas dalam artian rentang khalayak yang amat beragam baik pendidikan, usia, kultur, atau keyakinan. Akan tetapi, di milis yang membahas soal navigasi ia berjulukan "Suhu". Suhu Buyung, begitu ia disapa.

Ya, dari tanganlah peralatan navigasi bermerek Garmin memperoleh "teman sejati" yang gratis, yakni peta. Sekadar gambaran, sebuah alat navigasi tak akan maksimal jika tak ada peta. Dengan adanya peta, orang yang memegang alat navigasi tadi bisa tahu posisi sehingga memudahkan untuk bernavigasi. Harga peta seperti itu bisa sejutaan.

Oleh Buyung peta itu disebarkan secara gratis melalui situsnya, navigasi.net. Oleh beberapa pihak yang "nakal", kegratisan itu diubah menjadi uang. Misalnya saja, mengunduh peta dan memasukkan ke cakram padat lalu dijual bersama alat navigasi. Harganya memang miring, tapi semiring-miringnya harga dia tetap untung.

Awal mula ketertarikan Buyung akan ia mengalami kendala dalam memenuhi hobinya: jalan-jalan. Ia malas bertanya saat tak tahu arah. Makanya, saat bareng sama teman dalam aktivitas jalan-jalannya, ia menyuruh temannya yang bertanya. Mengapa Buyung malas? Jawaban yang diterima dari bertanya kadang membuatnya bingung. "Lewat jalan A, lalu belok kanan. Nanti di pertigaan ketiga belok kiri ....bla ... bla. Halah! Belum berangkat saja sudah bingung. Saya malah jadi malas ke sana karena takut kesasar."

Beruntung, tahun 2003 adiknya memberikan alat penentu lokasi (Global Positioning System, GPS). Alhasil, hobinya jalan-jalan pun semakin lancar jaya. Dari hasil jalan-jalannya itu Buyung ingin berbagi agar orang yang ingin bepergian tak menemui kendala seperti dirinya. Tahun itu juga ia pun mencari situs yang memadukan informasi wisata serta peta dan koordinat Bumi tempat tersebut. Hasilnya hampa. "Tak ada satu pun situs seperti itu."

Buyung akhirnya berkehendak membikin situs keinginannya. Ketakbisaannya membikin situs tak mengendurkan niat itu. "Saya belajar mulai dari nol. Kurang lebih butuh waktu tiga bulan," kata alumnus Fakultas Elektro Universitas Brawijaya Malang itu. Lahirlah navigasi.net (navnet) dengan jargonnya "setiap tempat adalah unik". Situs ini menggabungkan antara artikel wisata, foto tempat wisata, dan koordinat lokasinya. Dengan memasukkan koordinat itu ke dalam peralatan GPS, orang dengan gampang mencapai tempat itu. Dalam jangka panjang Buyung ingin menjadikan navigasi.net sebagai basis data pariwisata Indonesia. "Itu cita-cita saya."

Sudah banyak yang terbantu dengan adanya situs ini. Seorang dosen di sebuah universitas swasta, misalnya, melalui surat eletronik menyatakan bahwa ia terbantu sekali dengan artikel di navigasi.net soal candi. Berkat artikel itu tesisnya bisa selesai. Situs navnet pun mengilhami seseorang untuk berbagi soal artikel wisata. Bahkan ada artikel yang cukup langka, yakni kiriman dari arkeolog Belanda tentang lokasi puluhan candi yang tersebar di G. Penanggungan, Jawa Timur. Di artikel itu disertakan peta kuno yang dibuat pada zaman penjajahan Belanda.

Semenjak itu Buyung semakin rajin berwisata. Ia pun membeli kamera. Tentu GPS tetap setia menemaninya. "Waktu itu masih jarang orang menggunakan GPS. Jadi saya merintis dalam penggunaan GPS untuk berwisata."

Yang jadi masalah, di Indonesia belum ada satu peta yang mencakup seluruh wilayah. Kalaupun ada, ya hanya satu pulau dan terkonsentrasi di kota-kota besar saja; dan itu harus beli. Rata-rata Rp 1 jutaan untuk setiap peta. Itu pun hanya Jawa - Bali. Kalau kita suka jalan-jalan masak harus beli banyak peta? Selain itu, setiap peta tidak dijamin kebenarannya. Kondisi di lapangan berubah dan pembuat peta tidak mungkin memperbarui sesering mungkin. "Karena saya sudah terbantu dengan GPS, kenapa tidak mengembangkan peta sendiri?" Begitu tanya di benak Buyung.

Alhasil, tahun 2004 pun ia merintis membuat peta sendiri. Kembali ia harus belajar sendiri sebab tidak memiliki latar belakang pemetaan. Awalnya peta masih terbatas Bogor sebagai tempat tinggalnya. Terus ada beberapa anggota navnet yang berminat membuat peta. Buyung pun mengajari cara membuat peta berdasarkan pengalamannya. Semakin lama, banyak anggota yang mau membantu membikin peta sehingga Buyung berinisiatif mengumpulkan mereka. Diadakanlah kumpul-kumpul kecil alias gathering di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar Maret 2008. "Saya mengundang siapa saja yang tertarik bikin peta dan menentukan metodenya."

Dari pertemuan itu terkumpullah sekitar 30 orang pembuat peta. Satu hal yang ditekankan Buyung kepada para pembuat peta ini bahwa apa yang ia kerjakan ini total gratis. Tak ada upah atau hadiah dalam hal ini. "Namun saya juga tidak memaksa Anda untuk mengerjakannya. Anda mengerjakan, saya senang sekali; Anda tidak mengerjakan saya tidak memaksa," begitulah konsultan SAP ini menjelaskan ke pembuat peta yang kemudian dikenal sebagai map developer.

Uniknya, meski semua map developer tidak memiliki latar belakang pendidikan pemetaan (GIS), "Toh mereka tetap bersemangat untuk membuat peta gratis ini agar berguna bagi kepentingan orang lain". Lokasi yang saling berjauhan membuat komunikasi para map developer ini mengandalkan surat elektronik.

Soal gratis ini, bagi pengguna tentu sangat menyenangkan. Ya, yang namanya gratis pasti semua orang suka. Hanya saja, di sisi pemberi sempat membuat polemik. Bahkan sempat mengganggu pemutakhiran peta yang direncanakan tiap bulan menjadi lebih dari sebulan. Awalnya adalah lontaran pertanyaan mengapa POI pihak swasta dicantumkan. POI alias point of interest atau titik-titik koordinat yang menunjukkan sebuah tempat. "Mbok POI seperti itu dimintain dana," kira-kira begitulah harapan mereka. Memang menjadi pertanyaan, mengapa ketika restoran cepat saji McDonald ditandai di peta, restoran sejenis seperti KFC atau A&W tidak masuk. Adanya polemik ini membuat Buyung Akram yang merupakan penggagas peta navnet mengambil keputusan POI yang berbau bisnis hanya ditandai sekadar ada. Tidak dilengkapi dengan data-data lengkap.

Ketegasan seperti itu memang harus segera diambil sebab apa yang dilakukan Buyung dan timnya ini bisa menjadi tambang uang. Sampai sebuah majalah mingguan ternama pun salah memasukkan Buyung Akram sebagai tokoh muda yang moncer di ladang digital. "Padahal saya malah keluar uang. Kok dibilang tambang uang," katanya tanpa nada protes. Namun bagi perusahaan yang ingin dimasukkan ke peta navnet Buyung tak menampik asal mereka membayar. "Tapi saya tidak menetapkan tarifnya. Saya akan jelaskan bahwa peta gratis kami memerlukan dana dalam pengerjaannya."

Sampai saat ini tim map developer sendiri senang-senang saja mengerjakan peta tanpa dibayar. Hitung-hitung mereka berbuat sesuatu untuk orang banyak. Kesenangan terbesar adalah ketika ada orang yang terbantu dengan peta ini. "Ini nilainya lebih besar dibandingkan dengan sekadar uang." Soal besarnya uang yang dikeluarkan, "Namanya juga hobi. Seberapa besar uang yang dikeluarkan untuk hobi pasti tidak dipikirkan."

Buyung sendiri belum memikirkan untuk menjadikan peta navnet sebagai sumber keuntungan finansial. Padahal banyak yang ingin bekerja sama dengannya. Termasuk beberapa perusahaan luar negeri. Salah satunya pihak Garmin, yang memperoleh keuntungan sebab peta navnet cocoknya dengan alat GPS keluaran Garmin.

Melihat adanya tawaran-tawaran tadi, Buyung dan tim memang memiliki keinginan untuk membikin semacam lembaga formal sehingga lebih profesional. Tapi, ketika berbicara soal perusahaan, berarti ada uang masuk. "Ketika bicara uang, bisa jadi upaya kami malah hancur total."

Kalau mau berandai-andai, nilai kapital dalam peta gratisan ini tak bisa disepelekan. Dalam versi sebelum versi terbaru, jumlah pengunduh peta kurang lebih 16.000 kali. Jika sekali pengunduhan dikenai biaya Rp 10.000,- saja (batas minimal transfer melalui anjungan tunai mandiri), maka sudah ada uang senilai Rp 160 juta. Belum uang dari perusahaan yang dijadikan POI atau dari sponsor. Sebuah nilai yang lumayan.

Toh Buyung kembali menegaskan, "Ini hobi kok!" Absurd memang!