Penulis
Berlatar belakang antropologi ia mengajar arkeologi. Bebas dari kanker getah bening ia menjadi pembuat ramuan antikanker. Jalan hidup seseorang memang tidak bisa ditebak.
Namanya Lies Mariani. Dalam perjalanan hidupnya, wanita paro baya ini dihadapkan pada kejadian yang amat menakutkan. Bahkan mengancam hidupnya! Divonis menderita kanker getah bening stadium akhir, ia harus memilih dioperasi (dan untuk seterusnya menjalani proses kemoterapi) atau menyerah pada nasib. Kala itu waktu menunjuk ke akhir tahun 1980-an dan ia tinggal pada keluarga yang sebagian besar berprofesi sebagai dokter.
Baginya, dua pilihan itu tidak mengenakkan. Apalagi saat itu sang buah hati masih bayi. Kalau ia harus menjalani operasi dan disinar, ia membayangkan penderitaan yang akan dialami. Selain itu, cara medis tersebut juga belum menjamin sebuah keberhasilan. Pilihan kedua tentu tak akan diambilnya, mengingat ia belum siap. Baik secara rohani maupun badani. Yah, ibu mana yang tega meninggalkan anaknya yang masih bayi ditinggal pergi untuk selama-lamanya?
Waktu yang tak kompromi membuat ia memilih jalan tengah, jika dibilang begitu. Tidak mau dioperasi sekaligus tidak mau menyerah begitu saja. Ia pun melirik pengobatan alternatif. Didatangilah penyembuh H. Sutirna di daerah Cimindi. Ia memperoleh nama ini dari Ayahnya. Pengobatannya menggunakan batu yang ditempelkan ke bagian yang sakit dan kemudian diberi pil berwarna hitam. "Rasanya pahit sekali."
Selama menunggu pengobatan, suaminya memperoleh informasi bahwa ada penyembuh kanker di Cangkuang, Garut, bernama H. Sudirja. Di sini Lies diberi ramuan selama sebulan. Ramuan dedaunan dan bebatangan itu menuai hasil enam bulan kemudian. Namun hasil itu tanpa derita. Lies merasakan lambungnya sakit, urat-urat biru muncul di sekujur tubuh. Hari berganti dan bulan berbilang, Lies masih saja merasakan efek dari pengobatan itu. Ia sudah tidak bisa beraktivitas. Beruntung, pihak universitas tidak sampai memecatnya. Ia diperbolehkan bekerja semampunya.
Cobaan bukannya berkurang. Malah semakin memburuk sebab lambung selalu memuntahkan apa yang masuk. Tak heran kalau berat badan Lies turun drastis. "Hingga tinggal tulang belulang saja," tuturnya. Bahkan kandungan Hb-nya sampai turun ke angka 4 g/dl. Padahal, hemoglobin yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dalam darah ini untuk wanita dewasa berkisar pada angka 12 - 16 g/dl darah.
Karena sudah "mirip tengkorak", keseharian Lies hanyalah berbaring tanpa bisa berbuat apa-apa. Dunia mengajar sudah tidak tersentuhnya. Dunia nyata sudah seperti menjauh darinya. Orang-orang tersayangnya seperti sudah jauh dari penglihatannya. Padahal, mereka dengan setia menunggunya di sisi pembaringan. Ketika berbicara, lamat suara yang masuk ke telinganya.
"Saat itu saya sudah pasrah. Hidup saya sudah seperti di awang-awang saja," ujar Lies.Teringat akan bayinya yang masih butuh kehadirannya, Lies pun mencoba mengingat-ingat jejamuan yang pernah dikenalnya di kala kecil. "Ramuan dari Haji Sudirja itu berupa benalu teh dan bangle. Benalu teh sebagai penumpas kanker dan bangle berfungsi sebagai penenang." Kelak di kemudian hari Lies baru tersadar bahwa ramuan itu mengandung zat besi yang tinggi. Akibatnya, gigi bisa menjadi keropos.
Melalui buku-buku fitofarmaka yang dibacanya, Lies pun mengerti mengapa ia selalu memuntahkan makanan yang masuk ke lambungnya. "Ternyata bahan-bahan yang saya dapatkan dari Cangkuang itu membikin asam lambung saya meningkat tajam." Inilah yang membuatnya selalu mual dan muntah.Lies semakin tertarik mempelajari pengobatan alternatif. Dari ranah Cina ia memperoleh pengetahuan soal yin-yang tubuh yang harus seimbang. Dari yang dipelajarinya itu Lies pun meramu obat sendiri tanpa meninggalkan obat yang didapatnya.
Langkah pertama yang dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh. Jika daya tahan tubuh kuat, tentu penyakit akan angkat kaki. Hasilnya langsung terlihat. "Darah dan nanah langsung keluar. Juga cairan putih mirip cacing." Memang, Lies harus menanggung rasa sakit yang teramat sangat. Panas, dingin, meriang, dan cenut-cenut menyertai hari-harinya. "Seperti bisul yang mau pecah rasanya," Lies memberi pembanding.
Menurut Lies, proses tadi merupakan masa-masa kritis yang harus dilalui penderita kanker. Untuk mencegah infeksi maka bagian yang bengkak atau bernanah dikompresnya menggunakan air godogan daun sirih. Sementara untuk menumbuhkan jaringan yang rontok akibat digerus jejamuan maka Lies pun minum air susu kedele. "Kedele mengandung lesitin yang berperan dalam proses tumbuhnya jaringan." Selain merasakan sakit, Lies pun harus berpantang bermacam-macam jenis makanan. Salah satunya durian. Soalnya, buah ini memiliki aura panas yang menyebabkan luka lama keringnya.
Toh pada akhirnya semua perjuangan itu berbuah manis. Tahun 1990 pun ia bisa terbebas dari kanker getah beningnya. Untuk mengucap rasa syukur atas kesembuhannya itu, tahun 1992 Lies menunaikan ibadah haji. Terlebih tempatnya mengajar memberi kebebasan ia untuk mengajar di sana. "Saya akhirnya mengajar seminggu sekali. Padahal saya sudah melamar ke Kopertis Jakarta."
Ketekunan, keteguhan, dan kegigihan Lies akhirnya memenangkan pertarungannya melawan kanker yang mendera tubuhnya.