Find Us On Social Media :

Franklin Hubert Sahilatua

By M Sholekhudin, Kamis, 21 April 2011 | 13:52 WIB

Franklin Hubert Sahilatua

Saya penggemar berat lagu-lagu Franky. Sangat berat, untuk ukuran orang seusia saya. Ketika Franky sedang ngetop-ngetopnya, saya masih di sekolah dasar dan belum paham musik sama sekali. Bagi saya waktu itu, musik adalah Rhoma Irama sebab radio transistor dua band di rumah saya lebih banyak memperdengarkan lagu-lagu dangdut.

Lagu Franky (& Jane) yang saya tahu waktu itu hanya lagu beri-intro suara peluit kereta api meninggalkan stasiun... "Duduk di hadapanku seorang ibu. Dengan wajah sendu. Sendu kelabu. Penuh rasa haru ia menatapku. Penuh rasa haru ia menatapku. Seakan ingin memeluk diriku..." 

Selebihnya, saya tak banyak tahu. Saya baru mengenal lagu-lagu Franky setelah lulus kuliah tahun 2000. Sangat terlambat. Sebabnya sepele: setelah bekerja dan punya gaji, saya baru bisa membeli radio-tip dan mengoleksi kaset-kaset yang saya sukai. Sejak itu saya kasmaran dengan lagu-lagu balada Franky. Sekarang, di komputer saya ada 80 lagunya.

Bagi saya, Franky adalah maestro, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, dan tentu saja Rhoma Irama. Tidak banyak seniman seperti Franky. Lewat lagu-lagunya, ia bisa romantis, bisa melankolis, bisa pula puitis, tak hanya di lagu-lagu yang liriknya ditulis Yudhis. Ia musisi yang humanis, sosialis, juga nasionalis. Ia tidak hanya bernyanyi tentang balada kehidupan Orang-orang Pinggiran, tapi juga bicara tentang Pancasila Rumah Kita.

Ia penyanyi yang jujur kepada diri sendiri. Lagunya tak dibuat-buat, tidak dipuitis-puitiskan. Semua apa adanya. Lugu. Dan bagian yang paling saya sukai dari lagu-lagunya adalah paduan antara musik yang bersahaja dan tema kehidupan yang juga bersahaja. Tentang orang-orang yang bergelantungan di dalam bis kota yang sudah miring ke kiri, tentang orang desa yang terheran-heran di tengah kota, tentang laki-laki yang sedang jatuh cinta atau kehilangan kekasihnya.

Rumah kecil bukalah pintu pagarmu. Kan kuajak gadismu meninggalkan kamarnya. Memetik kembang rumput liar. Yang berada di sisi kali. Lihatlah disana gadisku. Perahu para penggali pasir. Dan anak-anak gembala bertopi koran. Berangkat pulang ke rumah.

Saya tak begitu paham perkara musik, not, nada. Bagi saya, kenikmatan musik berhubungan dengan kimia otak. Yang saya tahu, lagu Franky sesuai betul dengan kimia otak saya. Di telinga saya, lagu-lagu Franky menciptakan suasana hati yang damai. Seperti perasaan ketika sedang berada di tengah orang-orang tercinta.

"Biar kata pujangga, apa arti cinta. Yang kutahu diriku damai bersamamu."

Lagu Franky berbeda dari lagu Iwan Fals yang bertenaga dan lantang. Juga berbeda dari lagu Ebiet yang lebih kontemplatif. Lagu Franky hanya cukup untuk joget telapak kaki dan goyang sandal. Tapi justru karena itu saya bisa mendengarkannya setiap hari tanpa menjadi bosan.

Belakangan ia lebih banyak menulis lagu bertema kritik sosial. Saya kira ini adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai seniman rakyat. Ia seniman yang sungguh-sungguh peduli dengan kehidupan di sekelilingnya. Ia bukan "seniman salon" yang-meniru istilah Rendra-cuma bernyanyi tentang anggur dan rembulan sementara jutaan anak tanpa masa depan termangu di bawah kaki dewi kesenian. Ia tidak hanya menulis lagu tentang Siti Julaika yang kehilangan lapangan kerja di pabrik gula atau tentang bocah-bocah cilik tanpa baju yang tak kenal bapaknya. Ia ikut turun langsung memperjuangkan nasib para buruh dan orang-orang Terminal itu lewat banyak aksi nyata.

Tahun 2009 ia membuat lagu: "Aku mau presiden baru. Yang punya ketegasan. Jadi pemimpin. Aku mau presiden baru. Bela rakyat. Yang bodoh berjanji. Pandai bekerja." Tapi ia keburu meninggal dunia sebelum punya presiden baru.

Jangan pikirkan akhir perjalanan ini. Kemarin dan esok bukanlah batas dari waktu. Di depan kita terbentang langit bebas. Tak setiap jalan harus berakhir di ujung.

Semoga Tuhan merahmatinya.