Find Us On Social Media :

Gagap Bukan Pengalang Jadi Motivator

By Agus Surono, Jumat, 24 Juni 2011 | 04:00 WIB

Gagap Bukan Pengalang Jadi Motivator

Motivator tentu menjual suara. La kalau diri sendiri saja gagap, bagaimana bisa memotivasi orang? Yang justru malah ditertawakan, seperti pelawak yang menjual kegagapan dalam lawakannya. Nah, Eni Kusuma membuktikan bahwa gagap bukan alangan untuk menjadi motivator!

Eni gagap sedari kecil. Bungsu dari tiga bersaudara ini hidup dalam ketakutan. Setiap hari orangtuanya bertengkar. Kondisi ini membentuk dirinya menjadi gagap. Alih-alih keluarganya mendukung penyembuhan, malah menertawakan kegagapannya. Hal ini membuat Eni semakin rendah diri dan mengurung dalam kesendirian.

Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) menjadi tempat persembunyian yang nyaman baginya. Terlebih ada bacaan di antara tumpukan sampah. Hal itu dilakukan sampai ia SMP. Dari tumpukan sampah inilah ia memperoleh semangat yang membakarnya untuk bangkit. Ya, kata-kata dari kartu motivasi Harvest bertuliskan “Jangan pernah menyerah!” itu mengubah kepribadiannya.

Kata-kata itu membuatnya tahan ejekan teman-temannya. Ya, wajar teman-temannya mengejek sebab ia hanya ganti seragam sekolah setiap empat hari sekali, tidak menggunakan sepatu yang layak, dan menunggak SPP sampai tiga bulan. Ia berubah menjadi pemberani, tak kenal menyerah, tidak pemalu, dan segala masalah dianggap kecil. Lulus SMP ia melanjutkan ke SMA jurusan biologi.

Selepas SMA, Eni gagal PMDK maupun UMPTN. Ia begitu kecewa pada harapan yang ia bangun sendiri. Pikiran positif yang ia tanam ternyata tak selalu berdampak positif. "Dampak negatifnya, kita jadi capek berpikir positif terus, penuh harapan terus, tak kenal menyerah terus, padahal hasilnya nihil," ujar Eni.

Eni lalu mencari pekerjaan. Dari beragam lamaran ia diterima sebagai tenaga pembukuan. Sayang, hanya bertahan 1,5 tahun karena bangkrut. Ia pun berpaling jadi pembantu. Maunya ke Hongkong, tapi oleh PJTKI ia dinilai hanya layak dikirim ke Malaysia, Singapura, atau Arab Saudi. "Walah, jadi babu pun ditolak?!" beruntung ada satu keluarga di Hongkong yang mau menerimanya. Mengapa ia ngotot ke Hongkong? Ia dengar, di Hongkong perlindungan terhadap TKW cukup memadai. Tanggal 3 Maret 2001, Eni berangkat.

Ditantang bikin buku

Di Hongkong, Eni bertugas sebagai pengasuh bayi keluarga Chan Kwok Hung, seorang sopir taksi. Karena yang menggaji adalah istri Chan, Poon Ceuk Yin Herme yang bekerja di Octagon Jewelry sebagai manager eksekutif, Eni pun harus mengutamakan perintah istri Chan. Beruntung majikan Eni enak diajak ngobrol. Ia sering bertanya banyak hal karena takut mengecewakan majikannya. Tak lupa Eni meminta maaf jika melakukan kesalahan. Ia berusaha bekerja sebaik-baiknya.

Tahun 2005, saat diberi jatah libur, Eni belajar internet. Sejak itu ia keranjingan browsing: di perpustakaan kota, di kantor pos, atau warnet gratis di mal. Ia pun belajar menulis cerita pendek atau puisi dan mengirimkannya ke milis Kossta, wadah bagi para TKW di Hongkong yang suka menulis.

Tak disangka, majikannya mendukung kegiatannya dalam dunia tulis menulis. Saat majikannya bertanya, untuk apa ia menulis, Eni tegas menjawab, "I want to be a writer." Sang majikan tertawa, "You can't be a writer, because you don't have imagination."

Anehnya, sejak itu majikan sering complain terhadap apa pun hasil pekerjaan Eni. Sikap mereka baru agak reda dan normal kembali setelah Eni menyatakan berhenti menulis. Padahal, Eni baru menerima tantangan dari Edy Zageus, pengelola www.Pembelajar.com, untuk menyelesaikan semua artikelnya yang akan dibukukan.

Selama enam bulan Eni ngebut menyelesaikan sekitar 30 artikel motivasi, yang ia tulis tangan sejam sebelum tidur malam. Baru diketik ke komputer warnet di saat libur. Begitu cara ia menyiasati kesempatan.