Penulis
Intisari-Online.com - Musisi jaz legendaris dunia, Herbie Hancock, berkunjung ke Indonesia pada 17 - 23 Desember ini. Kunjungannya ke Indonesia dalam rangka mengemban misi budaya yang diberikan UNESCO padanya. Di sela-sela kunjungannya ke beberapa titik budaya Indonesia, Hancock menyempatkan berbincang dengan praktisi industri kreatif, khususnya musisi jaz di Tanah Air. Kisah pergumulannya dengan dunia musik dan bagaimana dia menyerukan perdamaian dengan karya musiknya, menjadikan sore itu penuh inspirasi.Bagi penggila musik jazz tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Herbie Hancock. Kali ini ia datang ke Indonesia sebagai duta UNESCO di bidang budaya. Di sela-sela kunjungannya ke berbagai ikon kebudayaan di Indonesia - seperti Candi Borobudur dan Prambanan serta Pulau Bali - pria bernama asli Herbert Jeffrey Hancock ini menyisihkan waktunya untuk beramah-tamah dengan para pelaku industri kreatif, khususnya di bidang musik jaz.
Talkshow bertajuk “Nurturing the Growth of the Music Industry: A Dialog with Herbie Hancock” dilangsungkan pada 22 Desember lalu di Gedung BNI, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Hancock yang saat ini berusia 71 tahun itu mengisahkan dirinya yang selalu saja penasaran akan hal baru. Semenjak kecil, dia menyukai musik. Keputusannya untuk terjun di aliran jaz juga buah dari rasa penasarannya yang selalu menggebu.
Dimoderatori oleh musisi jaz kawakan Indra Lesmana dan didampingi oleh Wakil Direktur Utama Bank BNI, Felia Salim, Hancock mengungkapkan pendapatnya megenai industri musik secara global. Menurutnya, perhatian utama bukanlah melulu apa yang bisa diberikan industri musik kepada dirinya, namun bagaimana dia bisa menciptakan peruntungannya sendiri.
“We create the future, not just have it created for us,” kata Hancock. Dia kemudian menceritakan tentang proyek album teranyarnya yang berjudul Imagine Project. Proyek album ini didasari kegalauannya terhadap dunia yang terasa masih terkotak-kotak. Dibuat di enam negara yang melibatkan studio rekaman lokal, karya musik dan video ini disajikan dalam tujuh bahasa yang berbeda. Harapannya, pesan perdamaian dalam album tersebut tersampaikan secara global. “Tapi sayangnya, Indonesia belum termasuk (dalam album itu –Red.). Kesempatan berikutnya akan saya coba,” katanya sembari tertawa.
Usahanya itu selaras dengan misinya sebagai duta UNESCO, yaitu mempromosikan sinergi menguntungkan di antara berbagai budaya, dengan titik berat kepada tumbuh kembangnya ide-ide segar dan kreatif kaum muda dalam memecahkan masalah global.
Pria bersahaja nan berwibawa ini juga menyampaikan ajakannya untuk lebih peduli pada kerja keras orang dalam menciptakan karya kreatif. Pencurian karya musik dengan mengunduhnya secara ilegal dan gratis dari internet, Hancock mengungkapkan, sungguh merugikan banyak pihak. Kemajuan teknologi, seperti internet, seharusnya bisa digunakan secara positif sebagai terobosan baru dalam menyampaikan kreativitas kepada masyarakat luas.
Pada kesempatan itu, Hancock juga mengungkapkan kekagumannya pada kebudayaan di Indonesia. Ia sangat terkesan dengan Candi Borobudur. Satu hal yang sangat membuat dirinya terpesona adalah, ” Fakta bahwa ada begitu banyak negara berkontribusi dalam restorasi Candi Borobudur. Bukankah terasa indah, Borobudur menyatukan berbagai negara sebagai komunitas, bersama-sama melestarikan warisan dunia,” katanya.
Dialog inspiratif yang dihadiri puluhan praktisi seni dan industri kreatif - termasuk beberapa penyanyi jaz Tanah Air, seperti Andien, Tompi, dan Indra Aziz - itu ditutup oleh Felia Salim dengan rangkuman bahwa dalam berkarya, dibutuhkan kejujuran, integritas, kesetiaan pada suara hati, keberanian, dan senantiasa mengikuti perkembangan, namun tetap jujur pada diri sendiri.