Find Us On Social Media :

Nano Riantiarno (2) - Sembilan Guru

By Jeffrey Satria, Selasa, 3 Juli 2012 | 20:53 WIB

Nano Riantiarno (2) - Sembilan Guru

Intisari-online.com Bertemu dan mengobrol dengan salah satu maestro teater Indonesia seperti Nano Riantiarno memang memberi kesan tersendiri. Kisah hidupnya yang berwarna-warni, mampu membuat kita seakan hanyut dalam sebuah pertunjukan teater tiga babak.

Warna-warni kisah hidup Nano itu, tak hanya tercermin dari kisah-kisah yang keluar dari bibirnya saja, tapi juga terlihat di rumah sang maestro. Di teras belakang rumahnya, terdapat sebuah ruang besar berwarna merah dengan aksen emas. Di sekitar langit-langit ruang tempat latihan para anggota teater itu terpampang pula poster-poster pertunjukan yang pernah dipentaskan oleh Teater Koma. Mungkin untuk mengingatkan para anggota teater akan sejarah panjang yang penuh dengan air mata.

Namun yang menarik hati bukan cuma puluhan poster-poster kenangan pertunjukan saja. Di salah satu sisi pilar teras belakang, terdapat sembilan foto wajah manusia yang terbingkai dan tersusun rapi. Tiga di atas, tiga di tengah, dan tiga di bawah. Tiga bersub. “Ini adalah foto wajah guru-guru saya,” ujar Nano sambil tersenyum.

Sambil menunjuk satu per satu foto tersebut, Nano “memperkenalkan” mereka kepada saya. Foto pertama adalah foto seorang seniman wayang, Djadoeg Djajakusuma. Bagi Nano, Djadoeg Djajakusuma adalah sumber ilmu perwayangan yang utama. “Dalam Teater Koma, saya mengambil tiga sumber utama. Pertama lakon klasik Cina, kedua Wayang, ketiga mitologi Yunani. Setiap saya mendapat kesulitan dalam wayang, saya selalu datang ke Djadoeg Djajakusuma,” ujarnya.

Nano kemudian menunjuk dua foto yang ada di baris pertama dan ketiga. Keduanya adalah Asrul Sani dan Goenawan Mohammad. “Keduanya adalah guru menulis saya,” ujarnya. Ya kedua maestro tulis menulis itu menjadi mentor Nano sewaktu ia masih aktif menjadi wartawan dan penulis.

Foto ketiga ditunjuk Nano, “Ini Arifin C. Noer,” ujarnya. Nano mengatakan, Arifin merupakan senior saat ia masih tergabung di kelompok teater Cirebon. Nano mengungkapkan, warna-warna lokal dalam seni pertunjukan yang ada pada Arifin berhasil mempengaruhinya begitu rupa.

Foto keempat dan kelima tampak tak asing. “Ini Rendra dan Harry Roesli,” ujar Nano. Bagi Nano, Rendra berhasil memprovokasi dirinya untuk berbicara tentang politik. “Rendra berhasil menyadarkan saya, bahwa politik itu penting. Politik kebudayaan,” ujarnya. Sedangkan Harry Roesli merupakan rekan kerja Nano yang memperjuangkan agar Opera Kecoa boleh dipertunjukkan kembali. Sayangnya Harry Roesli meninggal setelah Opera Kecoa berhasil dipertunjukkan.

Ada dua guru pertunjukan yang memberi teladan dan kontribusi besar bagi karier Nano. Keduanya adalah Wahyu Sihombing dan Teguh Karya. Foto keduanya dipasang berjejer, berdekatan. Wahyu Sihombing menjadi guru penyutradaraan saat Nano menimba ilmu di ATNI, sedang Teguh menjadi guru akting dan kehidupan. Kontribusi keduanya jelas tak akan dilupakan Nano. “Teguh Karya merupakan satu-satunya guru yang tidak hanya mengajarkan teater dan seni pertunjukan, tapi juga kehidupan. Ini gak pernah bisa saya lupakan,” ujarnya mengenang sang guru.

Foto terakhir adalah foto seorang penulis cerpen, drama, novel, film, dan banyak lainnya. Ia adalah Putu Wijaya. Bagi Nano, Putu Wijaya tak hanya sekadar rekan kerja biasa. “Putu Wijaya adalah senior yang saya hormati. Semangatnya luar biasa sampai sekarang ini. Gila ni orang, luar biasa sekali,” ujarnya.

Di akhir cerita saya bertanya tentang tujuannya memasang sembilan foto gurunya ini.  “Mengapa saya pasang? Hanya untuk mengingatkan setiap hari, bahwa mereka adalah guru-guru saya,” katanya. Itulah Nano, ia tak pernah lupa pada guru-gurunya, bak kacang tak pernah lupa pada kulitnya.