Find Us On Social Media :

May, “Jurnalis Hati Nurani”

By Rusman Nurjaman, Jumat, 10 Agustus 2012 | 11:19 WIB

May, ?Jurnalis Hati Nurani?

Intisari-Online.com - Medio November 1968, Brian May datang ke Indonesia. Di negeri yang masih dibayang-bayangi “huru-hara 1965” ini, jurnalis asal Australia itu mengerjakan beberapa reportase penting dan mengirim berita.

Ada satu waktu dalam lawatannya ke pedalaman di Jawa Barat, ia mengalami momen yang kemudian mengusik nuraninya: meyinggahi daerah kelaparan. Ia menyaksikan betapa orang-orang yang tinggal di situ menjalani hidupnya dengan nasib yang tersandera. Mereka mirip tawanan Belsen, tulis May. (Kamp Belsen merupakan kamp pertama yang didirikan oleh 

Tahun 1970, ketika May mendatangi daerah itu, adalah suatu masa ketika salah satu paradoks negeri ini mulai kembali menampakkan taringnya: korupsi. Sebuah data statistik menyebutkan, misalnya, dari 100 ton beras yang dikirim ke daerah itu, hanya 17 ton saja yang sampai. Sisanya dicuri. Pengalaman itu kemudian membawa May pada kesimpulan, apa yang dibutuhkan di Indonesia adalah rekonstruksi menyeluruh. Bukan redistribusi sumber daya sebagaimana pernah dilontarkan sejumlah orang pada masa itu.

May adalah seorang “jurnalis hati nurani” dengan “mata cacing”. Kerja-kerja jurnalistik membantunya mengenali dan mengakrabi keseharian kehidupan penduduk miskin kota. Sesuatu yang seringkali tidak bisa dilakukan oleh para akademisi dan pemangku kebijakan negeri ini. Di balik menara-menara kantor, bangunan megah hotel-hotel Jakarta, dan grafik statistik dan persamaan-persamaan para ekonom, May kerap menjumpai pemandangan yang memprihatinkan: ekonomi warga kecil yang terancam lumpuh. Perasaan empatinya pun tumbuh.

Sayangnya, demikian kisah Utrecht dan Caldwell dalam Indonesia: An Alternative History (1978), May belum belajar ekonomi politik. Baginya, semua hal yang ditemukannya itu tampak alamiah. Dia percaya, ketertinggalan Indonesia karena persoalan kultural, dan bukan struktural. Ia, misalnya, menyesalkan penguasa orang Jawa yang tidak menyukai perdagangan. Padahal, tulis May, orang Minangkabau dan Batak memperlakukan perdagangan hampir seperti agama. Adalah masuk akal jika kemudian May memandang modernisasi sebagai jalan keluarnya. Singkatnya, seperti pernah disindir Rendra dalam sajaknya, “bangsa kita adalah malas, bangsa mesti dibangun, mesti di-up-grade, disesuaikan dengan teknologi yang diimpor”.

Setelah hampir 40 tahun berselang, sekolah dan universitas telah banyak didirikan, bank-bank komersial bisa ditemui di hampir setiap penjuru kota, juga masyarakat kelas menengah yang melek teknologi menandai perkembangan bangsa. Pembangunan, modernisasi, pertumbuhan ekonomi, telah lama menjadi jargon dalam pidato para pejabat publik, buku-buku sekolah, juga diktat-diktat kuliah. Namun, kita mendapati semua ini tetap saja gagap menjelaskan kompleksitas persoalan hari-hari ini: dominasi asing dalam pengelolaan sumber daya, negeri yang dililit utang, lebih dari sepertiga penduduk negeri ini yang hidup dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar sehari, dan sebagainya, dan sebagainya.

May memang jurnalis hati nurani. Beberapa laporan reportase yang diangkatnya dipandang terlalu sensitif di mata penguasa. Tahun 1973, menjelang lima tahun masa tinggalnya di Indonesia, ia terpaksa hengkang. Visanya tak diizinkan diperpanjang lagi.

Pada akhirnya, kini kita tahu, setiap kali mengingat May, orang selalu terkenang pada buku yang kemudian ditulisnya, The Indonesian Tragedy. Sebuah karya yang dianggap salah satu buku terbaik tentang Indonesia.