Find Us On Social Media :

Budi Darma: Menulis adalah Menata Hidup

By Rusman Nurjaman, Senin, 1 Juli 2013 | 13:33 WIB

Budi Darma: Menulis adalah Menata Hidup

Intisari-Online.com - Tulisan (dokumen) adalah sumber pembelajaran generasi berikutnya. Tanpa tulisan, kebudayaan tidak akan maju. Kita bisa belajar karena ada tulisan. Maka, menulislah.

Semangat dan keyakinan itulah yang disebarkan oleh Budi Darma (76 tahun), novelis dan Guru Besar Ilmu Sastra Universitas Negeri Surabaya. Baik langsung atau pun tidak, Budi Darma mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menulis. Melalui buku-bukunya, ceramah, seminar, bimbingan kuliah, atau hanya sekadar saat ngobrol santai.

Lahir di Rembang, 25 April 1937, Budi Darma dikenal sebagai figur penulis dan akademisi sastra yang cukup disegani di Tanah Air. Karya-karyanya banyak diperbincangkan di forum-forum sastra maupun menjadi subjek penelitian ilmiah, terutama novel Olenka (1983) dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington (1980). Belasan penghargaan sastra dan kebudayaan pun pernah diraihnya, antara lain South East Write Award dari pemerintah Thailand untuk novelnya Olenka tahun 1984 dan Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI tahun 2005.

“Mendorong orang menulis bukan dengan menggurui atau memerintah. Sebab, orang justru akan enggan kalau disuruh atau diperintah. Intinya, disemangati menulis, tetapi pelan-pelan saja,” tutur suami Sitaresmi sambil tersenyum.

Menulis bukan sekadar menorehkan huruf dan kata. Menulis membiasakan seseorang dengan literasi (kemampuan membaca). Literasi tentang apa pun juga, baik tentang lingkungan, alam manusia, atau hal lain. Literasi akan mengajarkan kita membuat rencana dengan baik.

“Menulis mendorong kita merencanakan segala sesuatu. Bagaimana tulisan dibuat dengan ekonomisasi kata, bagaimana tulisan disusun dalam ruang yang ada, dan bagaimana tulisan itu akan diarahkan,” ujar penulis yang baru saja dinobatkan sebagai salah satu dari lima cendekiawan berdedikasi oleh Harian Kompas ini.

Membaca masalah

Menurut Budi Darma, menulis akan mengajarkan kita membaca atau melihat masalah. Menemukan inti persoalan, membuat abstraksinya, lalu mencari solusi.

Menulis beda dengan mendongeng. Yang dilakukan bangsa ini kebanyakan adalah mendongeng. Semua bicara dan bercerita, terkungkung dengan kemegahan masa lalu. Saling tumpang tindih, sahut menyahut, hingga nyaris tidak bisa menemukan akar persoalan sesungguhnya.

“Akibatnya, kita tidak bisa mengidentifikasi persoalan sebenarnya. Kita dengan mudah melupakan hal-hal lalu. Ujung-ujungnya kita jadi bangsa pelupa,” kritik Budi Darma.

Lupa akan kesalahan, kejahatan, dan penipuan yang merugikan bangsa. Lupa akan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kekerasan yang terjadi berulang-ulang. Lama-lama kekerasan itu terlembaga dan sistematis. Celakanya, kekeliruan itu kemudian dimaklumi dan dianggap wajar.

Dengan menulis, kita mampu mengidentifikasi dan mengabstraksi masalah. Ini membuat kita bisa melacak kembali informasi pada masa lalu. Tidak melupakan yang telah berlalu. Tak heran, hingga kini Budi Darma terus menulis. Ia menolak lupa dengan hal-hal pada masa lalu.