Penulis
Intisari-Online.com - Sebagai orang yang sifatnya hangat dan pekerja keras, Chung Ju-Yung berhasil memikat hati pelanggannya. Semua anak bosnya pemalas, sehingga Ju-Yung meraih kepercayaan bosnya untuk mengelola toko. Dengan hasil jerih payahnya, ia membeli tanah untuk keluarganya di Tongchon.
Tak lama kemudian, ia kembali ke kampung dan dijodohkan dengan Byun Joong-Seok, perempuan muda sekampungnya. Walaupun mereka belum pernah bertatap muka sebelum pernikahan, sejak semula pernikahan mereka bahagia. Istrinya adalah jenis istri ideal menurut tradisi Timur: penuh perhatian terhadap suami, hemat, dan rajin mengurus rumah tangga.
Tidak lama kemudian Ju-Yung kembali ke Seoul. Dia menyewa sebuah rumah di sekitar Shintangdong yang menghadap ke jalan dan membuka toko hasil pertanian yang dinamai Firma Kyongil. Kondisi ekonominya pun menjadi sangat baik. Saat itu, ia baru berumur 22 tahun, berarti 4 tahun setelah kabur terakhir kalinya dari rumah.
Namun, baru 2 tahun, Jepang mengadakan agresi besar-besaran terhadap Tiongkok. Pemerintahan Jepang di Korea mengambil alih dan menguasai pengadaan bahan makanan selama masa perang. Toko Ju-Yung ditutup dan ia terpaksa mudik ke kampungnya.
Ju-Yung berpikir, selama ini ia selalu berhasii mengatasi kesulitan kalau berusaha sungguh-sungguh. Jadi, ia pun kembali ke Seoul dengan tekad menjajaki kemungkinan membuka usaha lain. Ia membuka bengkel perbaikan kendaraan bermotor karena usaha itu modalnya kecil tetapi cepat balik modal. Lagi pula, orang Jepang di Korea tidak mau terjun ke bidang usaha "kotor" seperti itu.
Pada 1 Februari 1940, dia mengambil alih manajemen bengkel reparasi mobil "A-Do Service". Untuk itu, ia harus mengeluarkan semua uangnya dan masih meminjam dari pelanggan lamanya. Modal seluruhnya 5.000 Won. Namun, baru 5 hari, api melalap bengkel itu. Cobaan berat kembali menderanya.
Meski tanpa uang sepeser di tangan, Chung Ju-Yung tetap tidak berpaling sedikit pun dari tekadnya. Ia berutang lagi sebesar 3.000 Won pada pelanggan lamanya itu dan membuka lagi bengkel "A-Do Service" di tempat baru dengan mempekerjakan 50 karyawan. Karena usahanya tidak memiliki izin, dia selalu disatroni polisi Jepang di wilayah itu. Dengan cerdiknya, dia berhasil meluluhkan hati polisi yang lantas menyuruhnya memindahkan papan nama ke tempat yang agak tersembunyi sehingga polisi dapat berpura-pura tidak melihatnya. Sejak itu, bengkelnya bebas dari "sidak" dan berkembang pesat.
Ketika persaingan usaha bengkel mobil sangat ketat, Ju-Yung menerapkan strategi "pelayanan cepat" dengan bayaran lebih mahal. Menurut Ju-Yung, mutu pelayanan bengkel rata-rata sama. Kelebihan yang bisa ia berikan adalah pelayanan yang cepat dan efisien. Pemilik mobil masa itu umumnya sangat kaya. Mereka tidak keberatan keluar uang agak lebih banyak asal kendaraan mereka selesai ditangani dengan baik dalam waktu cepat. Akibatnya, ia memperoleh keuntungan lebih besar dari bengkel-bengkel lain.
Orientasi pada efisiensi ini kemudian diterapkan pada manajemen Hyundai dalam bersaing ketat di dunia industri.
Pada akhir 1941, imperialis Jepang memulai Perang Pasifik dan sebuah maklumat diterbitkan yang intinya mengharuskan semua perusahaan dirampingkan agar cocok menghadapi perang. Banyak perusahaan Korea harus gabung (merger) dengan perusahaan Jepang. Pada awal 1943, "A-Do Service" milik Chung Ju-Yung dipaksa merger dengan perusahaan Jepang. Kerja kerasnya selama 3 tahun seakan-akan runtuh dalam sehari.
Chung Ju-Yung tidak mau menyerah pada keadaan. Ia membeli 30 truk dan menjalankan usaha transportasi. Truknya mengangkut bijih emas dari pertambangan ke pabrik pengolahan. Teman pemilik pertambangan selalu merongrong usaha Ju-Yung sehingga Mei 1945 ia terpaksa menjual usahanya di bawah harga kepada seorang pengusaha Jepang, yaitu cuma 50.000 Won. Namun, siapa sangka 3 bulan kemudian, 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat.
Sebulan kemudian Ju-Yung sudah kembali ke Seoul untuk bergabung dengan sebuah usaha peleburan logam sambil menunggu kesempatan memulai usaha baru.
Meluaskan usaha
April 1946, bersama teman-temannya, Chung Ju-Yung membeli tanah di tengah kota Seoul. Dia memancangkan papan nama Hyundai Motor Industrial Co. (juga Hyundai Auto Repair Works) untuk pertama kalinya. Hyundai artinya modernistic, model baru.
Pada saat itu angkatan bersenjata AS yang ditempatkan di Korea dilengkapi dengan kendaraan dalam jumlah besar. Karena perusahaan Ju-Yung sangat berpengalaman dan memiliki keterampilan tinggi di bidang perbaikan mobil, ia segera mendapat kepercayaan dari para pelanggannya. Dalam waktu kurang dari setahun, bengkel reparasinya berkembang pesat menjadi bengkel besar yang mempekerjakan 100 orang.
Suatu hari Chung Ju-Yung pergi ke balai kota untuk meminta pinjaman bagi perusahaannya. Ia mendapat 1 juta Won. Namun, orang lain yang meminta pinjaman mendapat 10 juta Won. Ia jadi penasaran. Ia mendapat jawaban bahwa perusahaan konstruksi jauh lebih menarik para investor daripada usaha perbengkelan.
Begitu pulang, ia menancapkan papan bertuliskan Hyundai Civil Engineering Co. di sebelah papannya yang lama. Begitulah, 25 Mei 1947 itu ia mendirikan perusahaan konstruksi yang akan menjadi perusahaan raksasa. Ketika beberapa temannya mengingatkan untuk tidak melangkah ke arah yang tidak cukup dikuasainya, ia menimpali, "Saya pernah bekerja di sejumlah dok dan memiliki pengalaman lebih banyak ketimbang yang lain." Dengan kata-kata itu, Chung Ju-Yung memulai bisnis barunya.
Berawal dengan hanya seorang insinyur dan beberapa teknisi, Hyundai Civil Engineering Co. mencatat rekor meraih total kontrak 15,3 juta Won pada tahun pertama. Dalam 2 tahun berikutnya perusahaan ini memantapkan reputasi sangat baik di antara 3.000 perusahaan konstruksi dalam negeri yang dimonopoli beberapa grup industri raksasa.
Tanggal 15 Agustus 1948, Republik Korea berdiri dengan Lee Syng-man sebagai presiden. Januari 1950, Chung Ju-Yung menggabungkan Hyundai Civil Engineering Co. dan Hyundai Motor Company menjadi Hyundai Engineering & Construction Co. Ltd. yang menjadi cikal bakal Hyundai Enterprises Group. Saat Chung Ju-Yung akan melakukan ekspansi berikutnya, Juni tahun itu pecahlah Perang Korea Korea Utara yang didukung kubu komunis bertarung dengan Korea Selatan yang didukung AS. Hyundai Construction yang baru berumur 6 bulan pun berantakan.
Chungju-Yung dan keluarganya mengungsi. Sebagai kepala keluarga, ia harus mengais-ngais dari bawah lagi. Saat mengantar koran-koran ke seorang politikus, ia mendapat kesempatan menyaksikan betapa pemimpin-pemimpin Republik Daehan (nama lain dari Korea) hidup bermewah-mewah padahal rakyat sedang sengsara sehingga ia merasa sangat sebal.
Lalu 15 September 1950, tentara AS mendarat di Inchon. Tentara negeri Paman Sam ini menggelar banyak proyek pembangunan. Seorang adik Chung Ju-Yung, yaitu Chung In-Yung, menjadi juru bahasa Letnan McAllister. McAllister membutuhkan perusahaan konstruksi yang bisa dipercaya dan meminta informasi dari juru bahasanya yang lantas merekomendasikan Chung Ju-Yung dengan Hyundai Construction Company-nya. Berkat pembangunan dok pelabuhan Inchon, Hyundai mendapat pengalaman elementer dalam meraih proyek internasional. Ini merupakan modal saat berkompetisi di masa mendatang di pasar internasional.
Tahun 1952, Jenderal Eisenhower, pahlawan Perang Dunia II yang kemudian menjadi Presiden AS, berkunjung ke Korea. Garnisun AS mempercayai Hyundai untuk membangun rumah tempat jenderal itu menginap. Syaratnya, WC-nya memakai kloset. Padahal, Chung Ju-Yung tidak tahu bagaimana rupanya water closet. Namun, semuanya beres juga hanya dalam waktu 15 hari.
Gencatan senjata ditandatangani antara Korea Utara dan Korea Selatan pada 27 Juli 1953. AS menarik sebagian tentaranya dari Korea. Setelah menderita 36 tahun di bawah aturan kolonial, Korea perlahan mendapat kemerdekaannya. Menghindari masuknya penjajah baru, Korea bertekad membangun perekonomian berdasarkan kekuatan dan sumber daya sendiri. Hyundai Construction mulai menerima tawaran dari dalam negeri.
Namun, saat itu inflasi menggila. Chung Ju-Yung menderita kerugian hebat dalam proyek pembangunan kembali Jembatan Golyong di atas Sungai Nak-dong. Harta yang dikumpulkannya selama ini habis tertelan. Menanggapi kerugian tersebut Ju-Yung yang tidak kenal menyerah berkata, "Ini bukan kerugian, tetapi cobaan baru." Yang penting, ia berhasil mempertahankan reputasi bisnisnya walaupun ia memerlukan waktu 20 tahun untuk melunasi semua utang.
Kerugian itu menjadi pelajaran baginya dalam menghadapi inflasi. "Jangan bertangan kosong kalau bergulat dengan harimau. Jangan bertelanjang kaki menyeberangi sungai yang sedang banjir," begitu ia mengutip kata-kata mutiara dari buku kuno.
Tahun 1957, ketika Hyundai memperbaiki Pelabuhan Inchon, perusahaan menghadapi kekurangan peralatan cukup besar. Chung Ju-Yung kemudian mengirim teknisi ke markas tentara AS untuk mencuri pandang peralatan bekas yang ada. Dari sana, dia membuat tiruannya untuk digunakan sendiri. Sejak itu, berbagai proyek di Korea ditangani Hyundai termasuk pembangunan Jembatan Sungai Han pada September 1957. Hyundai pun menjadi salah satu dari lima perusahaan konstruksi terkemuka di Korea.
Hyundai tidak ragu-ragu belajar dari AS dan luar negeri. Karyawannya sengaja belajar bahasa Inggris. Hyundai juga merupakan perusahaan konstruksi pertama di Korea yang merekrut para sarjana.
Belajar dari kegagalan
Setelah reformasi ekonomi digulirkan, menyusul pergantian pemerintahan yang menempatkan Park Chung-Hee sebagai pemimpin Korea, terbitlah harapan baru di bidang ekonomi. Penanaman modal asing digalakkan. Teknologi tinggi diimpor. Prioritas diberikan pada industri untuk impor. Korea ingin mengubah dirinya menjadi kekuatan industri modern yang bisa bersaing di pasar internasional. Chung Ju-Yung merupakan salah satu perintis kemajuan ini. Untuk membangun sistem industri yang independen, bahan mentah mesti disediakan oleh pasar dalam negeri.
Pada Juli 1962, pembangunan pabrik semen Danyang dimulai. Setiap Minggu malam, selama 2 tahun pembangunan, Ju-Yung datang ke lokasi proyek untuk melakukan supervisi. Saat ia datang, para pekerja tampak giat bekerja. Maklum di belakangnya mereka menjulukinya "macan buas". Suatu kali, ia ketiduran di kereta api sehingga baru turun di stasiun berikutnya: Akibatnya, ia datang terlambat 30 menit. Dia berhasil menangkap basah pekerjanya yang bermalas-malasan dan tentu saja mereka kena marah.
Akhirnya, pabrik semen itu rampung 6 bulan lebih cepat dari rencana. Januari 1970, pabrik tersebut berubah menjadi Hyundai Cement Co. Ltd. Kehadirannya membuat Korea tidak perlu bergantung pada bahan konstruksi dari luar negeri. Semen "Cap Macan"-nya menguasai pasaran di Korea karena murah dan perusahaan itu menjadi salah satu perusahaan terbesar di Korea. Hyundai kini memegang peranan penting dalam mendirikan jaringan tenaga penggerak industri, mulai dari panas bumi sampai nuklir.
Kemajuan dalam industri Korea bukan tidak ada kesulitannya bagi para pengusaha. Mereka kekurangan dana, devisa dibatasi, dan pasar dalam negeri jenuh. Satu-satunya jalan keluar adalah ikut dalam persaingan internasional.
Hyundai Construction Co. berhasil meraih kepercayaan di luar negeri. Proyek pertamanya adalah pembangunan jalan raya Pattaninarathiwat di Thailand. Dalam tendernya, Hyundai mengalahkan 29 perusahaan pesaing dari 16 negara, termasuk Jerman, Jepang, dan Prancis. Namun, siapa sangka proyek yang dibiayai pemerintah Thailand itu berakhir dengan kegagalan. Hyundai mengalami kerugian besar sekali.
Soal kegagalan yang dialaminya, Ju-Yung mengatakan, "Kegagalan ini memberi kita pelajaran bahwa di luar negeri kita harus memecahkan masalah geologi dan meteorologi yang spesifik dulu sebelum mulai membangun. Selain itu, manusianya pun berbeda. Kita harus menyesuaikan diri dengan kondisi setempat. Pengalaman buruk harus diingat. Dengan mengingat kerugian dan kegagalan, kita bisa melakukan perbaikan. Ingat, mereka yang melupakan kesalahan masa lalu, akan gagal lagi, dan gagal lagi." (Intisari)