Find Us On Social Media :

Mengenal Princen sebagai Gerilyawan

By Agus Surono, Kamis, 11 Juli 2013 | 18:09 WIB

Mengenal Princen sebagai Gerilyawan

Intisari-Online.com - Cianjur, 9 Agustus 1949. Pagi baru saja menyeruak kawasan Perkebunan Gunung Rosa. Bulir-bulir embun masih bergulung pada hamparan hijau dedaunan pohon teh. Suara ayam hutan menjerit-jerit dari batas hutan, seolah tengah memanggil matahari yang masih malu-malu menampakan diri untuk cepat datang dan menyinari Bumi.

Di sebuah pondok sangat sederhana, Letnan TNI Jan Cornelis Princen bangkit dari sehelai tikar butut yang menjadi tempat peraduannya tadi malam. Usai menggeliat malas, pandangannya lantas membentur wajah  Odah, seorang perempuan  kecil berkulit sawo matang berkebaya yang masih tertidur pulas di sampingnya. Princen tersenyum kecil. Ia lalu mengusap rambut gadis Sunda yang baru beberapa bulan dinikahinya itu dalam rasa sayang.

Princen bangkit dan bergerak menuju arah beranda. Saat langkahnya menuju hitungan ketiga, tiba-tiba suara rentetan tembakan membahana, seolah ingin memerangi kesunyian pagi itu. “Heh, Setan! Jangan main-main kalian!”teriak lelaki kelahiran Den Haag tersebut. Rupanya, ia mengira suara tembakan itu bersumber dari salah satu anak buahnya yang tengah iseng di parit pertahanan.

Alih-alih menjadi diam, teriakan Princen justru dijawab dengan desingan peluru dan lemparan sebuah granat nanas yang terbang melewati kepalanya. Refleks, Princen menjatuhkan diri ke lantai, merayap ke arah jendela bagian belakang dan menciutkan tubuhnya untuk kemudian menjatuhkan diri ke luar pondok.

“Aku cepat sadar, kami tengah diserang,” kenang mantan kopral tentara Belanda itu.

Ia kemudian berteriak memberi komando kepada anak buahnya untuk membalas sambil mundur ke punggung bukit yang ada di belakang pondok. Di tengah suara desing peluru dan gelegar granat, ia merasakan bagian bawahnya nyeri dan perih. “Salah satu serpihan granat pertama telah menembus salah satu bagian kaki kiriku,” ujarnya.

Pertempuran pun terus berlangsung.

Pengalihan yang gagal

Sehari sebelumnya, seorang kurir  dari markas kompi di Batusirap (kira-kira 40 km dari Gunung Rosa) mendatangi Princen. Ia menyampaikan sepucuk surat dari Kapten Saptadji berisi peringatan: satu peleton tentara Belanda berkekuatan sekitar 70 serdadu terdeteksi telik sandi Siliwangi tengah bergerak dari arah Stasiun Kereta Api Lampegan (dekat Gunung Padang) menuju arah posisi pasukan Princen.

“Mereka bersenjata lengkap, berikat kepala dan jelas tengah menyamar sebagai anggota TNI. Hati-hatilah,” demikian bunyi peringatan atasan Princen itu.

Tak mau kecolongan, malam harinya, Princen bersama beberapa anak buahnya bergerak menuju Cilutung. Di sana, mereka lantas menembakan peluru-peluru sinyal ke arah selatan.

Sementara itu, di sebuah hutan dekat Gunung Rosa, Letnan Johan Heinrich Christopher (Henk) Ulrici tengah berdiri menatap peluru-peluru sinyal yang bertebaran di arah selatan. Ia tersenyum kecil. Sebagai anggota Pasukan Komando Khusus Angkatan Darat Belanda (KST) yang pernah makan asam garam berbagai pertempuran, ia mafhum buruannya tengah membuat siasat pengalihan. Alih-alih terpancing, mantan ajudan Kapten RPP. Westerling itu malah mememerintahkan anak buahnya untuk istirahat, guna menyiapkan tenaga buat penyerangan mendadak ke kubu pasukan Princen esok paginya.