Penulis
Intisari-Online.com - Cianjur,9 Agustus 1949. Pagi baru saja menyeruak kawasan Perkebunan Gunung Rosa. Bulir-bulir embun masih bergulung pada hamparan hijau dedaunan pohon teh. Suara ayam hutan menjerit-jerit dari batas hutan, seolah tengah memanggil matahari yang masih malu-malu menampakan diri untuk cepat datang dan menyinari Bumi.
Di sebuah pondok sangat sederhana, Letnan TNI Jan Cornelis Princen bangkit dari sehelai tikar butut yang menjadi tempat peraduannya tadi malam. Usai menggeliat malas, pandangannya lantas membentur wajah Odah, seorang perempuan kecil berkulit sawo matang berkebaya yang masih tertidur pulas di sampingnya. Princen tersenyum kecil. Ia lalu mengusap rambut gadis Sunda yang baru beberapa bulan dinikahinya itu dalam rasa sayang.
Princen bangkit dan bergerak menuju arah beranda. Saat langkahnya menuju hitungan ketiga, tiba-tiba suara rentetan tembakan membahana, seolah ingin memerangi kesunyian pagi itu. “Heh, Setan! Jangan main-main kalian!”teriak lelaki kelahiran Den Haag tersebut. Rupanya, ia mengira suara tembakan itu bersumber dari salah satu anak buahnya yang tengah iseng di parit pertahanan.
Alih-alih menjadi diam, teriakan Princen justru dijawab dengan desingan peluru dan lemparan sebuah granat nanas yang terbang melewati kepalanya. Refleks, Princen menjatuhkan diri ke lantai, merayap ke arah jendela bagian belakang dan menciutkan tubuhnya untuk kemudian menjatuhkan diri ke luar pondok.
“Aku cepat sadar, kami tengah diserang,” kenang mantan kopral tentara Belanda itu.
Ia kemudian berteriak memberi komando kepada anak buahnya untuk membalas sambil mundur ke punggung bukit yang ada di belakang pondok. Di tengah suara desing peluru dan gelegar granat, ia merasakan bagian bawahnya nyeri dan perih. “Salah satu serpihan granat pertama telah menembus salah satu bagian kaki kiriku,” ujarnya.
Pertempuran pun terus berlangsung.
Pengalihan yang gagal
Sehari sebelumnya, seorang kurir dari markas kompi di Batusirap (kira-kira 40 km dari Gunung Rosa) mendatangi Princen. Ia menyampaikan sepucuk surat dari Kapten Saptadji berisi peringatan: satu peleton tentara Belanda berkekuatan sekitar 70 serdadu terdeteksi telik sandi Siliwangi tengah bergerak dari arah Stasiun Kereta Api Lampegan (dekat Gunung Padang) menuju arah posisi pasukan Princen.
“Mereka bersenjata lengkap, berikat kepala dan jelas tengah menyamar sebagai anggota TNI. Hati-hatilah,” demikian bunyi peringatan atasan Princen itu.
Tak mau kecolongan, malam harinya, Princen bersama beberapa anak buahnya bergerak menuju Cilutung. Di sana, mereka lantas menembakan peluru-peluru sinyal ke arah selatan.
Sementara itu, di sebuah hutan dekat Gunung Rosa, Letnan Johan Heinrich Christopher (Henk) Ulrici tengah berdiri menatap peluru-peluru sinyal yang bertebaran di arah selatan. Ia tersenyum kecil. Sebagai anggota Pasukan Komando Khusus Angkatan Darat Belanda (KST) yang pernah makan asam garam berbagai pertempuran, ia mafhum buruannya tengah membuat siasat pengalihan. Alih-alih terpancing, mantan ajudan Kapten RPP. Westerling itu malah mememerintahkan anak buahnya untuk istirahat, guna menyiapkan tenaga buat penyerangan mendadak ke kubu pasukan Princen esok paginya.
Sejak mendapatkan perintah untuk melumpuhkan (hidup atau mati) desersi Princen dari Mayor Jenderal Engels (Komandan Angkatan Darat Belanda di Jawa Barat), Ulrici bekerja keras mempelajari gerakan Pasukan Istimewa Siliwangi yang dipimpin Princen. Atas wewenang dari Mayjen Engels pula, anggota pasukan baret hijau KST ini membentuk pasukan yang diambil dari prajurit-prajurit komando terpilih. Ia lantas memberi nama pasukan itu sebagai “Compagnie Eric”, yang diambil dari nama sandinya di KST.
“Kami harus cepat bergerak, sebelum gencatan senjata berlangsung pada 10 Agustus 1949,” ujar Ulrici dalam suatu wawancara di televisi Belanda.
Gara-gara tubrukan
Setelah beberapa jam menunggu dan tak mendapatkan para pemburunya bergerak, peleton Pasukan Istimewa yang dipimpin Princen akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke Gunung Rosa. “Aku minta seorang perwira dan satu unit pasukan untuk bertahan di Cilutung guna menghadapi kemungkinan mereka bergerak lewat tengah malam,” kenang Princen.
Begitu kembali di Gunung Rosa, demi keamanan, Princen memerintahkan para penjaga untuk menggali lubang-lubang pertahanan yang menempatkan para penembak jitu di dalamnya. Ia lantas masuk ke pondok dan disambut oleh seulas senyum dari Odah yang tengah menyiapkan makan malam untuknya: ayam goreng, nasi putih dan sambal. Sambil menemani Princen makan,Odah bercerita tentang banyak hal dalam bahasa Sunda.
Di tengah kerinduannya kepada keluarga di Belanda, Odah menjadi belahan jiwa sekaligus pelipur lara bagi Princen di negeri tropis ini. Perempuan Sunda itu dinikahinya beberapa bulan setelah ia meninggalkan kesatuan KL-nya dan bergabung dengan Divisi Siliwangi. Masih segar dalam ingatan Princen, bagaimana pertemuan pertama dirinya dengan Odah.
Suatu hari saat pulang penghadangan, di jalan setapak sebuah hutan bambu, secara tak sengaja ia bertubrukan dengan seorang gadisyang tengah membawa kue-kue kecil dalam sebuah tampah. Sudah pasti,benda-benda enak itu pun berserakan di tanah
“Aku lantas minta maaf, mengantarkan dia pulang ke kampungnya dan mengganti kerugian yang ia derita akibat kecerobohanku,” kenang lelaki bule kelahiran Den Haag, Belanda itu.
Sejak itulah, ia jadi sering berkunjung ke rumah Odah di sebuah desa dekat lereng Gunung Gede. Tak jarang, ia pun kerap mengajak Odah ke markasnya. Pasangan Odah-Princen kemudian menjadi ajang gosip di kalangan pasukan dan orang-orang kampung yang tidak terbiasa dengan tradisi pacaran ala Belanda-nya.
Beberapa waktu kemudian, atas desakan Kapten Saptadji yang merasa jengah dengan gosip-gosip tersebut, Princen dan Odah pun menikah. Princen lantas masuk Islam. “Aku sedikit pun tidak memiliki persoalan. Aku percaya kepada Tuhan dan sudah lama memastikan diri bahwa tidak banyak bedanya melalui agama mana kepercayaan itu aku salurkan,” ujarnya seperti yang diungkapkan Joyce van Fenema dalam Poncke Princen, Een Kwestie van Kiezen.
Malam semakin dingin. Suara binatang malam bersipongan, membentuk orkestra yang digerakkan alam. Obrolan masih terus berlanjut begitu Princen selesai bersantap. Menjelang dini hari, mereka akhirnya menyerah dan memanjakan rasa kantuknya di sehelai tikar butut. Terlelap hingga serentetan tembakan memecah pagi.
Odah tewas
Sambil menghamburkan peluru-peluru tajam dari Tommygun-nya, Ulricimemerintahkan anak buahnya untuk membuat formasi setengah lingkaran mengepung pondok kecil yang dikelilingi parit tersebut. Beberapa anak buahnya lantas melempar 2-3 granat ke arah para penembak jitu TNI yang tengah bertahan di lubang. Glaaarrr! Asap putih dan kobaran api kemudian muncul. Lima prajurit Siliwangi tampak terkapar bersimbah darah.
Diikuti oleh sebagian anak buahnya, Ulrici berlari menembus asap putih dan kobaran api untuk mendapatkan Princen di dalam pondok. Usai mendobrak pintu, ia lantas menghambur ke dalam pondok. Sekilas sudut matanya yang terlatih menangkap gerak sesosok tubuh di dalam kamar. Tratatatatat! Tanpa menunggu lagi, Ulrici menghantam sosok itu dengan hamburan peluru Tommygun-nya.
Dalam gerak hati-hati, prajurit yang kelak mendapat medali Militaire Willems-Ordedar dari Kerajaan Belanda itu mendekati sosok yang sudah terkapar tersebut. Hatinya tercekat, begitu mengetahui tembakan yang ia lakukan sudah membobol kepala seorang perempuan muda hingga darah dan isi kepalanya berhamburan. Dalam wawancara dengan sebuah media Belanda, belakangan Ulrici menyatakan penyesalannya atas pembunuhan yang menurutnya tak disengaja itu. “Saya terpaksa menembaknya, karena dia akan menembak saya,” ujarnya.
Selain perempuan muda itu, ia hanya menemukansebuah buku yang berisi catatan harian milik Princen. Sadar operasinya telah gagal dan waktu gencatan senjata semakin dekat, ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mundur dan membawa dua serdadu yang tewas di tempat itu. Gunung Rosa pun kembali sunyi.
Sementara itu, di balik bukit yang lain dari Gunung Rosa, beberapa anak buah Princen berusaha menahan komandannya yang nekat akan menyerang sendirian ke pondok yang beberapa saat mereka tinggalkan. Dalam film dokumenter White Guerilla, dilukiskan bagaimana pedih dan merasa berdosanya Princen karena harus meninggalkan Odah dan beberapa anak buahnya.
Langit di atas Gunung Rosa semakin terang. Suara burung kecil yang sempat terhenti kembali bernyanyi, mengiringi teriakan histeris Princen saat memeluk Odah yang sudah terkapar tanpa nyawa di beranda pondok sederhana tersebut. “Padahal saat memasuki pondok, aku berharap menemukan Odah di dalam dengan situasi persis seperti aku terakhir kali melihatnya…” kata Princen dalam nada pilu.
Akibat serangan menjelang gencatan senjata tersebut, 15 prajurit Pasukan Istimewa gugur. Beberapa senjata dan perlengkapan pribadi hilang. Moril pasukan bergerak jatuh ke titik nadir karena kehilangan itu. “Kami menangis. Kami tahu kami telah kehilangan mereka. Bagiku sendiri, serasa ada sesuatu yang retak di dalam saat itu. Seperti ada sesuatu yang patah dalam keseluruhan hidup. Tiba-tiba, semuanya menjadi lain… Kami menjadi tenang tapi semakin keras…” ujar Princen.
Hari berikutnya, perang telah berakhir. Kendati banyak kawannya di Siliwangi bersimpati dan kerap menghiburnya (termasuk sahabatnya Mayor Kemal Idris), namun kehilangan Odah menjadikan Princen merasakan setiap hari seperti ada sebilah bayonet yang mengerat hatinya secara perlahan bila mengingat Odah.“Sampai saat ini, wajahnya masih terbayang dan membuat jiwaku selalu terluka. Memang tadinya aku pikir sudah berlalu, tapi ternyata belum…” ujarnya kepada saya 18 tahun yang lalu.
Pagi baru saja menyeruak kawasan Perkebunan Gunung Rosa. Bulir-bulir embun masih bergulung pada hamparan hijau dedaunan pohon teh. Suara ayam hutan menjerit-jerit dari batas hutan, seolah tengah memanggil matahari yang masih malu-malu menampakan diri untuk cepat datang dan menyinari bumi.
Saya berjongkok, meraih segenggam tanah di bekas tempat Odah dan 15 prajurit Siliwangi gugur. Selintas terngiang, suara lemah Princen tua ditelinga saya: “Bahwa aku seorang pemberontak dan pengkhianat, itu benar. Tapi aku bisa mempertanggungjawabkan semua yang pernah aku lakukan, kepada siapa pun termasuk kepada negeriku Belanda dan dunia…” (Hendijo)