Penulis
Intisari-Online.com -Jalan hidup Antarina SF. Amir, yang semula seorang akuntan, mulai berbelok ketika dia menjadi dosen di almamaternya, di kampus FE UI, Depok. Sebagai pengajar muda yang butuh menimba pangalaman belajar, kala itu dia melanjutkan studi ke Amerika Serikat lewat jalur beasiswa. Di negeri Paman Sam itulah dia mengalami beberapa momen yang kemudian mengubah pandangannya tentang pendidikan.Suatu hari profesornya di kelas memberi tugas untuk menghitung jumlah mobil yang ada di lapangan parkir kampus dalam waktu 5 menit. Masalahnya, bentuk lahan parkirnya seperti mal, besar, bertingkat dan padat. “Saya merasa bodoh banget, mengapa menghitung mobil saja tidak bisa. Padahal saya selalu merasa sebagai pelajar yang berprestasi,” kenang Antarina. Akhirnya dia kembali ke kelas dengan tangan hampa. Tapi kemudian segera tahu, seharusnya dia membuat rumus agar bisa menghitung.Pengalaman ini membuat dia sadar: selama ini problemnya guru di sekolah selalu memberi rumus siap pakai. Kita hanya mengikuti apa kata guru untuk menggunakannya. Padahal, saat itu dia sebenarnya sedang diminta menciptakan rumus.Saat semua kembali ke kelas, tak ada murid yang memberikan jawaban sama. Tapi profesornya mengatakan, “Bukan jawabannya yang penting, tapi bagaimana cara kita memperoleh jawaban itu, dan bagaimana kita bisa bernalar serta mempertahankannya dengan argumen yang kuat,” ujar perempuan bernama lengkap Ratna Dewi Antarina ini, menirukan paparan dosennya. Lalu sang profesor itu membacakan puisi berjudul “The Flower are Reds”, yang berasal dari lirik lagu Harry Chapin.Lirik lagu ini mengisahkan seorang anak yang pada hari pertama sekolah menggambar bunga dengan banyak warna yang berbeda. Gurunya berkata, bunga yang digambarnya salah, seharusnya dia menggambarnya dengan warna merah dan hijau, sebagaimana yang selalu mereka lihat. Anak itu protes dan tetap menggambar dengan warna yang dibayangkannya sampai kemudian guru itu menghukumnya. Akhirnya, anak itu menerima apa kata gurunya bahwa “bunga berwarna merah dan daun berwarna hijau”. Begitu seterusnya hingga anak itu melanjutkan sekolah ke tempat lain.Antarina sangat tersentuh dengan pengalaman tersebut. “Inilah sistem pendidikan kita,” seru sang profesor, “yang selalu mengajarkan siswa bahwa bunga selalu berwarna merah dan daun berwarna hijau”. Antarina mafhum, untuk menanamkan semangat kreativitas, tidak bisa dengan cara belajar seperti ini. Dia tak ingin kelak anaknya mengenyam model pendidikan yang mematikan potensi kreatif anak. “Saya merasa ini identik dengan sistem pendidikan di Indonesia yang sangat satu arah”. Antarina pun mulai berpikir, perlu menciptakan suatu sekolah yang “mengajarkan anak menggambar bunga dengan warna apa saja”.