Penulis
Intisari-Online.com -Banyaklah sudah kisah ditulis orang tentang berbagai segi kehidupan salah satu tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia ini. Selain sebagai seorang negarawan, Bung Hatta adalah seorang intelektual yang cukup produktif melahirkan banyak karya, ekonom, aktivis pergerakan, dan berbagai predikat lain. Sosoknya juga terkenal sebagai figur yang disiplin dan rela hidup membujang hingga cita-cita Indonesia merdeka tercapai.
Dari sekian predikat yang disematkan orang kepada Bung Hatta, sisi pribadinya yang amat sederhana juga cukup tersohor. Ia seorang yang jujur dan bersih, serta hidup hemat. Ada banyak kisah yang sering dikutip orang mencerminkan kebersahajaan hidupnya. Purnawan Basundoro, sejarahwan dari Universitas Airlangga, misalnya, menuturkan, jika melakukan kunjungan ke luar negeri, Bung Hatta hanya membawa satu kopor ketika berangkat, dan satu kopor pula waktu pulang. Tidak pernah lebih dari itu.Saking sederhananya. Ketika sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI dan menjadi pensiunan, ia hampir saja tidak mampu membayar langganan air minum dan membayar iuran pembangunan daerah.
Padahal sebagai seorang mantan wakil presiden, kalau saja Bung Hatta mau, pintu bisnis pasti cukup terbuka karena memiliki banyak kawan. Namun, ia memilih hidup sebagai seorang “bapak bangsa” yang tidak ingin ternoda dengan perilaku menyimpang ketika harus menjalani profesi yang lain.Kisah kesederhanaannya yang paling kesohor adalah keinginannya memiliki sepatu Bally yang terkenal cukup mahal. Ketidakmampuan dari segi keuangan tergambar ketika Bung Hatta akhirnya harus menyimpan guntingan iklan sepatu tersebut jika sewaktu-waktu dibutuhkan kalau uangnya sudah mencukupi.
Cermin kesederhanaan juga terpancar saat ia menolak haknya untuk dimakamkan di taman makam pahlawan jika wafat. Dalam surat wasiat tertanggal 10 Februari 1975, ia mengemukakan, “... Saya tidak ingin dikubur di (Taman) Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.”
Tanggal 14 Maret 1980, Bung Hatta mendahului kita menghadap Sang Khalik. Namun jiwa dan semangatnya tetap bersama kita, menjadi teladan bagi generasi mendatang: sebuah renungan dari negarawan yang tidak korupsi. (Intisari)