Penulis
Intisari-Online.com -Usianya saat ini genap 85 tahun. Terhitung, Maulwi Saelan lahir di Makassar pada 8 Agustus 1928. Beberapa bulan sebelum Kongres Pemuda II dilangsungkan. Prestasinya dalam dunia sepabola Indonesia tak diragukan lagi. Bersama Toni Pogacnik, Saelan dianggap sebagai reformis sepakbola Indonesia. Jika Toni soal cara bermain, maka Saelan adalah reformis ulung di tubuh organisasi PSSI.
Tapi jarang yang mafhum perihal keterlibatannya dalam dunia militer. Bahkan, gara-gara memutuskan terjun berperang, asanya bermain sepakbola hampir pupus. Di akhir tahun 1940-an, Saelan memutuskan untuk ikut berperang. Karirnya sebagai bek tengah—posisi sebelum jadi kiper—Main Oentoek Sports (MOS) dia tinggalkan begitu saja.
“Saat memutuskan berperang, tidak ada sama sekali pikiran tentang sepakbola. Bagaimana mungkin? Kami harus terus berjalan. Untuk makan pun, kami harus memakan apa saja yang kami temui selama penelusuran,” ujar Saelan kepada FourFourTwo.
Tahun 1947 Saelan memutuskan kembali dari hutan. Saelan yang waktu itu masih 19 tahun kembali ikut berlatih sepakbola. Bukan sebagai bek tengah, kali ini Saelan berperan sebagai kiper. Karir prestisius pertamanya adalah ikut meramaikan PON pertama di Solo tahun 1955. Ia bergabung dengan Tim Seberang yang sebagian pemainnya berasala dari luar Jawa.
Antara tahun 1950-1960-an, posisi Saelan tidak tergantikan. Dia memimpin pasukan Garuda mengarungi beragam kompetisi internasional. Keputusan memanggil pelatih berkebangsaan Kroasia, Toni Pogacnik, yang langsung ditunjuk oleh Soekarno, membuat Saelan semakin bersemangat. Permainan timnas semakin ciamik dengan kecepatan serta bola-bola pendek rapi.
Akhir tahun 1958 dia harus mengubur impiannya membela timnas dalam ajang Asian Games II. Di saat bersamaan, dia harus kembali ke militer dan ditugaskan ke Makasar. Meski harus kecewa tidak bisa memperkuat timnas, Saelan punya hadiah lain, yaitu kedekatannya dengan Bung Proklamator, Sukarno. “Menurut saya, Bung Karno adalah sosok yang ramah, termasuk saat bertemu saya waktu di Pare-Pare. Saat waktu santai, saya dan Bung Karno sempat berbicara secara langsung,” kenang Saelan.
(Bersambung)