Irwan Hidayat: Tak ada Yang Boleh Berhenti

Moh Habib Asyhad

Penulis

Irwan Hidayat: Tak ada Yang Boleh Berhenti

Intisari-Online.com -Lama sebelum menerima estafet tongkat kepemimpinan di Sidomuncul, Irwan Hidayat belajar bagaimana bekerja, bagaimana mengelola sebuah bisnis. Di balik segala inovasi marketing dan pembenahan di bagian produksi, beberapa filosofi sederhana jadi motor keberhasilannya.--Intisari 50 tahun, saya ikut senang dan berbangga. Tidak gampang “merawat” sebuah media yang lahir 50 tahun lalu dan sampai hari ini masih eksis. Selamat ulang tahun emas. Karier saya di Sidomuncul pun adalah perjuangan tak kunjung henti dalam meneruskan warisan bisnis dari nenek dan ibu saya. Empat puluh tiga tahun dan tidak sedetik pun saya merasa jenuh. Sidomuncul membuat saya terus sibuk berpikir, dari pagi sampai malam.

Perusahaan Jamu Sidomuncul lahir dari tangan nenek saya, Go Djing Nio atau Agustina. Beliau lahir pada tgl 13 Agustus 1897 di Semarang dan menikah dengan kakek saya, Siem Thiam Hie, pada usia 17 tahun. Kakek saya berasal dari Ambarawa, anak seorang pengusaha sukses. Setelah menikah, kakek dan nenek saya bertempat tinggal di Ambarawa. Di kota itu , mereka berbisnis dibidang pemerahan susu sapi, atau yang dikenal masyarakat pada waktu itu, milkery. Suatu bisnis yang “besar“ pada waktu itu. Usaha mereka sukses. Tetapi krisis ekonomi dunia tahun 1925 – 1930 meluluhlantakkan bisnisnya. Kakek & nenek saya bangkrut. Mereka pindah ke Solo dan membuka Toko Roti Muncul pada tahun 1930. Tidak berhasil, mereka pindah lagi ke Yogyakarta tiga tahun kemudian. Pertama, mereka mengontrak rumah di Jln. Tukangan, lalu pindah ke Lempuyangan. Di kedua tempat tersebut hidup mereka makin susah. Tetapi ketika mereka pindah ke alamat ketiga di Jln. Ketandan no. 8, pintu rezeki mulai terkuak. Nenek (dibantu kakek tentunya) menjual bahan-bahan jamu, kemudian mulai meracik jamu sekitar 1939-1940. Menjelang Jepang menginvasi Indonesia, nenek membeli gambirdalam jumlah banyak, dan saat Jepang masuk tahun 1942, ternyata mereka banyak membutuhkan gambir (apakahkarena khasiat sedatif dan anestesianya, saya tidak tahu). Harga gambir naik beberapa kali lipat. Mereka berdua mendapat banyak keuntungan. Dengan keuntungan tersebut, nenek membeli sebuah rumah di Jln. Poncowinatan 88 Yogyakarta. Rasa-rasanya angka 8 memang angka keberuntungan bagi nenek. Di Jln. Ketandan 8 pula, nenek memformulasikan jamu Tolakangin untuk pertama kalinya, masih dalam bentuk rempah-rempah.Baca kisah selengkapnya di MajalahIntisariedisi khusus ulang tahun ke-50,September 2013 (500 halaman).