Find Us On Social Media :

Polisi Hoegeng Iman Santosa, Sosok Polisi Jujur (1)

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 15 Januari 2015 | 14:01 WIB

Polisi Hoegeng Iman Santosa, Sosok Polisi Jujur (1)

Intisari-Online.com – Tahun 1958. Waktu itu sore menjelang magrib. Sebuah sedan hitam keluar dari kota Medan menuju ke arah utara, Binjai. Meluncur melewati daerah-daerah pegunungan yang penuh dengan tikungan-tikungan, sepi, di sekelilingnya hutan-hutan melulu. Pengemudi yang berpakaian preman, sendirian saja di belakang setir, bersiul-siul menikmati udara sejuk dan keindahan alam meskipun ia ke Binjai tidak untuk berpiknik tapi melakukan dinas.

Tapi tiba-tiba … “dorr…. singgg” Kesunyian yang indah itu dipecahkan oleh sebuah ledakan tajam yang menggema, memantul pada dinding-dinding pegunungan. Suara tembakan yang jelas diarahkan ke mobil tersebut kaena nyaris menyerempet kaca depannya.

Pengemudi mobil itu, ia adalah Pak Hoegeng, sadar akan bahaya dan dengan gerak reflek menginjak rem. Ragu-ragu sejenak, memutar kendaraan pulang ke Medan atau maju terus. Ada kemungkinan penghadangan yang lain di depan maupun di belakang. Akhirnya keputusan melesatkan kendaraan itu maju terus, kabur dengan kecepatan maksimal.

Selamat Pak Hoegeng sampai ke Binjai, tapi di sana sempat “dimaki-maki” oleh rekan-rekannya. Sudah berulang kali diperingatkan agar jangan suka keluar rumah sendirian, sebab berbahaya bagi keselamatan dirinya. “Tapi selalu saja kamu membandel. Sekarang rasain.” Malam itu ia kembali ke Medan dengan diantar oleh satu regu Brimob.

Peristiwa di atas terjadi ketika Pak Hoegeng – waktu itu masih AKBP – menjabat sebagai Kepala Reskrim Kantor Polisi Sumatra Utara di Medan dari permulaan 1956 – 1959.

Kehadirannya di daerah Sumatra Utara ketika itu memanaskan pantat para “gembong” di daerah-daerah itu karena tindakan yang pertama-tama dilakukan Kepala Reskrim ini adalah memberantas perjudian, pemerasan, dan penyelundupan. Kota pantai Teluknibung masa itu adalah basis smokel yang sangat kukuh. Maka tak heran kalau selama tugasnya di sana Pak Hoegeng dibenci “orang”.

Tak hanya sekali itu Pak Hoegeng terancam jiwanya waktu di Medan. Sekali akan diculik, bersama beberapa tokoh lain yang “tak disukai di daerah itu”. Tapi setelah umpet-umpetan selama beberapa jam dengan para penculik itu ia berhasil selamat.

Rumah Pak Hoegeng bukan sebuah gedung besar kokoh berpagar kekar dengan rumah monyet dan seorang penjaga berbedil plus sebuah ruang besar tempat menunggu. Rumah Panglima AKRI di Jalan Madura no. 8 itu hanya sebuah tempat tinggal mungil dengan pekarangan depan yang kecil tapi rapi terpelihara. Pintu garasi yang berwarna merah menyala, menyambut setiap tamu yang datang dengan kesan keriangan.

Sosok Komjen Pol. Drs. Hoegeng Iman Santosa, kecil gesit. Sama sekali tidak kekar atau tegap seperti umumnya Panglima Angkatan yang lainnya. Di antara rekan-rekannya perawakan Pak Hoegeng ibarat sebuah sepeda di tengah-tengah beberapa buah truk. Kegesitan “sepeda” ini kami saksikan sendiri bila melihat Pak Hoegeng menjadi inspektur upacara. Jika berjalan menuju mimbar, langkahnya pendek-pendek cepat, langsung, dan lurus seperti akan menabrak apa saja yang melintang di jalan.

----

*) Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 1969, dengan judul asli Panglima AKRI: Komdjenpol Drs. Hoegeng Iman Santosa. Ditulis oleh Edward Linggar G, mengisahkan bagaimana sosok Polisi Hoegeng Iman Santosa,  yang kita kenal sebagai sosok polisi yang jujur.