Find Us On Social Media :

Clous von Stauffenberg, Kurir Pembawa Bom yang Nyaris Membunuh Adolf Hitler (3)

By Moh Habib Asyhad, Senin, 16 Maret 2015 | 18:15 WIB

Clous von Stauffenberg, Kurir Pembawa Bom yang Nyaris Membunuh Adolf Hitler (3)

Intisari-Online.com - Siapa sangka, di balik kejeniusannya, Claus von Stauffenberg kecil ternyata sering sakit-sakitan. Sampai saat masuk tentara, sebagian kelemahan fisik itu masih terbawa. Laporan dokter tentara menyebut, Stauffenberg rentan terhadap infeksi tenggorokan, yang dapat melemahkan daya tahan fisiknya. Selama itu, pria yang memiliki kakak kembar (Berthold dan Alexander, lebih tua dua tahun) dapat menaklukkan kelemahan fisiknya dengan kekuatan tekad.

Keluarga Claus - begitu saat kecil ia dipanggil - masuk dalam hitungan bangsawan Swabia Kuno. Istana mereka, tidak jauh dari Hechingen, kini tinggal puingpuing. Ayah Claus sendiri menghabiskan waktu bertahun-tahun mengabdi di istana Raja Wurttemberg, sampai berakhirnya era kerajaan pada 1918. Setelah itu, Claus harus pindah dari kompleks istana kuno berhalaman luas ke rumah dinas kementerian Keuangan Istana yang sempit.

Beranjak remaja, Claus sempat tertarik pada musik. Ia memainkan cello, dan terbiasa berlatih musik dengan kakak-kakaknya. Berthold memainkan piano, sedangkan Alexander memegang biola. Mereka juga sering melakukan konser kecil-kecilan bersama teman-teman sekolah dan masyarakat umum. Selain musik Claus remaja juga gemar teater. Ia sering ikut serta dalam pertunjukan teater amatir sekolah.

Pada 1926, Claus muda bermetamorfosa menjadi Stauffenberg dewasa, yang memilih mengabdi pada negara lewat jalur tentara. Karena besar di lingkungan terpelajar, Stauffenberg tak hanya menyimpan pesona ketampanan, pembawaan militer sejati, sikap sopan, dan hati-hati. Tapi juga sensitivitas tinggi, membuatnya tak bisa diam melihat ketimpangan dalam masyarakat. Menjadi pahlawan di medan perang saja tidak cukup buat Stauffenberg.

Menurut istrinya, Nina von Lerchenfeld (bangsawan Bavaria kuno yang dinikahinya 26 September 1933), Stauffenberg sangat menyadari posisinya sebagai bagian dari elite, sehingga terpanggil untuk ikut memikul tanggung jawab nasib negara. "Ada hal yang lebih penting daripada sekadar mengurusi kekayaan dan warisan keluarga. Tugas itu adalah pengabdian kepada rakyat," imbuh Nina.

Sikap kritis Stauffenberg terhadap Hitler sudah ada sejak sang Fuhrer menjadi Kanselir Jerman, pada 30 Januari 1933. Awalnya, dia bersikap agak hati-hati. Sampai tahun 1938, bagi Stauffenberg, Hitler adalah kanselir sah, tempat semua orang Jerman mengucap sumpah setia. Dia juga tidak percaya Hitler akan mendorong Jerman ke arah perang dengan Sekutu. "Hitler mempunyai gagasan murni dan mendasar yang mengarah ke pembaruan spiritual," bela Stauffenberg.

Namun, pembakaran sinagoga-sinagoga oleh Nazi pada 9 November 1938 membuka mata Stauffenberg, yang terbiasa memegang teguh prinsip keadilan dan moralitas. la juga makin kurang sreg dengan pesta seks, serta perilaku buruk dan kasar para pemimpin partai Nazi. Puncaknya, ketika Hitler memberi sinyal perang terhadap Sekutu, Stauffenberg mulai goyah. Beda dengan konsep Eropa Baru-nya Hitler yang harus dicapai lewat peperangan, "Eropa Baru" versi Stauffenberg justru harus dicapai lewat penghapusan ketegangan.

Kegalauan Stauffenberg bertambah, ketika April 1942, Hitler meminta agar badan legislatif, yudikatif, dan eksekutif diserahkan ke tangan sang Fuhrer. Paruh kedua 1942, Stauffenberg akhirnya meyakini, situasi politik dan militer Jerman hanya dapat diperbaiki dengan melawan Hitler. Ketika para jenderal atasannya ramai memperbincangkan kemungkinan bertemu Fuhrer untuk "memberi peringatan", Stauffenberg tanpa kompromi menukas, "Masalahnya bukan bagaimana memberi tahu dia tentang kebenaran, tetapi menamatkan riwayatnya!"