Penulis
Intisari-Online.com – Tanggal 16 September 1998, penduduk Singapura antre untuk membeli buku The Singapore Story, Memoirs of Lee Kuan Yew. Jilid I riwayat menteri senior dan bekas perdana menteri mereka itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-75. Di antara orang asing yang dimintai pendapat sebelum buku ini diterbitkan terdapat mantan Menkeu RI AH Wardhana, mantan Menlu Mochtdr Kusumaatmadja, dan Menko Wasbang Hartarto. Inilah kisah masa muda Lee Kuan Yew yang menikah diam-diam dengan kekasih hatinya.
--
Di London saya menderita guncangan budaya. Semuanya asing bagi saya, kecuali bahasanya. Di rumah semua keperluan saya diurus oleh keluarga saya. Di sini selain harus mengurus diri sendiri, waktu dan tenaga . saya terkuras untuk pergi dari satu lokasi kuliah ke lokasi lain yang berjauhan, dengan berjalan, naik bus, dan kereta api. Akibatnya, tidak ada energi lagi untuk belajar atau merenung.
Dari seorang dosen, saya tahu bahwa Cambridge jauh lebih tenang. Saya tertarik dan November 1946 pergi ke sana. Saya bertemu dengan mantan siswa Raffles College, Cecil Wong, yang sudah masuk di Fitzwilliam House, yaitu lembaga untuk siswa-siswa yang kurang berada di Cambridge. Bayarannya lebih murah. Cecil membawa saya menemui pemimpin dari Fitzwilliam, yaitu William S. Thatcher. Thatcher bersimpati kepada saya dan menawarkan saya belajar di Cambridge tanpa harus mengulang semester yang sudah saya jalani di London.
Saya bilang kepada Thatcher, saya akan belajar segiat mungkin supaya bisa lulus dengan peringkat First Class. Thatcher memperingatkan agar saya tidak kecewa kalau hal itu tidak tercapai karena tuntutan Oxford dan Cambridge ekstra tinggi.
Saya mulai kuliah di sana awal Januari 1947. Cambridge ternyata melegakan. Mobil, bus, dan truk cuma sedikit. Bahkan W.S. Thatcher pun bersepeda. Saya membeli sepeda bekas seharga 8 ponsterling.
Akhir Juni, Choo menulis, ia mendapat ijazah Class I dari Raffles College. Akhir Juli datang telegram yang lebih menggembirakan lagi Choo mendapat beasiswa Queen's untuk belajar di Inggris, tapi pemerintah jajahan tidak bisa menemukan universitas yang tahun akademisnya dimulai Oktober 1947. la mesti menunggu sampai 1948.
Lewat W.S. Thatcher saya bisa bertemu Miss Butler, kepala dari Girton, yaitu college untuk wanita di Cambridge. Saya ceritakan kepadanya perihal teman saya, Nona Kwa yang cerdas sekali, lebih cerdas dari saya, sehingga sering menduduki peringkat di atas saya saat di Raffles College. Miss Butler pasti merasa geli karena saya begitu bersemangat memuji pacar, tetapi rupanya tergugah. Hari itu juga saya menelegram Choo untuk memberi tahu ia diterima di Girton.
Akhir Agustus 1947 Choo menumpang kapal tentara dari Singapura. Saya menunggunya dengan tidak sabar pada awal Oktober di pelabuhan Liverpool.
Setelah beberapa minggu menyesuaikan diri, Choo bilang bahwa saya berubah. Saya bukan lagi orang yang periang, yang optimistis, dan penuh semangat, yang menganggap semua bisa dilaksanakan. Sekarang saya tampak jadi sangat anti-Inggris, terutama antirezim kolonial di Malaya dan Singapura yang menurut saya mesti diakhiri.
Setahun di Inggris mengkristalkan perubahan-perubahan yang terjadi sejak pendudukan Jepang. Kini saya melihat prang-orang Inggris di negara mereka sendiri. Ada yang luar biasa baik seperti W.S. Thatcher. Namun, kalangan bawah terutama sangat memandang rendah orang Asia. Saya meragukan kemampuan dan itikad mereka untuk memerintah Malaya dan Singapura demi kesejahteraan penduduk setempat.
Menikah diam-diam
Sementara itu Choo dan saya juga mendiskusikan masa depan kami. Kami pikir, sebaiknya kami menikah diam-diam pada liburan bulan Desember. Orang tua Choo pasti tidak akan setuju, begitu pula Girton College dan pemberi beasiswa. Kami menikah di Desa Shakespeare, Stratford-on-Avon. Dalam perjalanan ke sana kami singgah di London, dan saya membelikan Choo cincin platina di sebuah toko perhiasan di Regent Street. Ketika kami kembali ke Cambridge, ia memakai cincin kawin itu sebagai bandulan kalung.
Mei 1949 kami menempuh ujian akhir untuk menjadi ahli hukum. Saya dan Choo sama-sama lulus First Class. Saya juga memenangkan bintang Distinction yang cuma satu-satunya dari Law Tripos II.
Saya gembira bisa pulang. Namun, kalau saya kenang kembali, masa empat tahun di Inggris merupakan masa yang memberi banyak kebahagiaan. Saya melihat Inggris yang morat-marit akibat perang. Walaupun demikian, pendudukhya tidak putus asa. Mereka juga tidak menjadi sombong karena menang.
Kami tiba di Singapura 1 Agustus 1949. Karena masih merahasiakan pernikahan kami, kami pulang ke rumah masing-masing. Choo ke Pasir Panjang, saya ke 38 Cbdey Road. Kami menikah kembali di Singapura tahun 1950. Orang tua kami menyelenggarakan resepsi untuk sanak keluarga di Raffles Hotel.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 1999 dalam rubrik Cukilan Buku, ditulis oleh Helen Ishwara, dengan judul asli Lee Kuan Yew Masa Mudanya Penuh Derita.