Lee Kuan Yew: Saksi 'Perkawinan' Sekaligus 'Perceraian' Federasi Malaysia

K. Tatik Wardayati

Penulis

Lee Kuan Yew: Saksi 'Perkawinan' Sekaligus 'Perceraian' Federasi Malaysia

Intisari-Online.com – Sepulang dari Inggris tahun 1950, Lee berkerja sebagai penasihat hukum perusahaan jasa pos, Postal Union. Di sini ia mulai terjun ke kancah politik dengan memperjuangkan kenaikan upah para pekerja pos. Dalam perkembangannya, program ini juga meluas ke berbagai perusahaan lain. Dari sinilah ia meniti politik sampai ke puncak.

--

Bersamaan dengan terjadinya reformasi konstitusi Singapura, Lee membentuk aliansi politik dengan dua tokoh muda setempat, yakni David Saul Marshall seorang sarjana hukum, dan Lim Yew Hock seorang pengusaha. Namun, karena adanya ketidaksepakatan antarmereka, akhirnya Lee memisahkan diri dan membentuk partai sendiri yakni People Action Party (PAP) dengan basis massa pendukungnya dari kalangan pekerja Cina menengah ke bawah. la berjuang dan melobi Inggris untuk memperoleh pemerintahan sendiri dalam negara-negara Commonwealth bagi Singapura.

Akhirnya, dalam pemilu Mei 1959, partainya berhasil memperoleh kursi 43 dari jumlah total 51 kursi. Pada tanggal 5 Juni 1959 ia diangkat menjadi perdana menteri. Dengan program "repelita"nya kabinet Lee mencanangkan program pengentasan kemiskinan, pembangunan perumahan, emansipasi wanita, perlitasan program pendidikan dan industrialisasi.

Tahun 1963, Singapura bergabung dengan negara-negara di Semenanjung Malaya, yang bersama-sama Sabah dan Sarawak membentuk Federasi Malaysia. Namun, usia federasi ini pun tak lama. Menyusul timbulnya ketegangan etnis antara kelompok Cina dengan Melayu yang menimbulkan kerusuhan masal di Singapura pada Juli 1964. Meski Lee tetap percaya bahwa federasi itu bisa merepresentasikan masyarakat yang multietnis dan multiras, toh akhirnya pada 9 Agustus 1965 Singapura harus melepaskan diri.

"Perceraian" dengan Malaysia itu justru membawa hikmah yang baik. Di bawah kepemimpinannya, dalam waktu singkat Singapura berhasil tumbuh dan berkembang sebagai negara yang makmur. Tahun 1980 pendapatan per kapita Singapura, nomor dua setelah Jepang, bahkan menjadi pusat perekonomian terkemuka di Asia Tenggara. Dalam pemilu tahun 1984 dan tahun 1988 Lee masih mampu mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri. Sampai akhirnya tahun 1990 ia mundur dari percaturan politik, meski tetap sebagai pemimpin PAP.

--

Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Januari 1999 dalam rubrik Cukilan Buku, ditulis oleh Helen Ishwara, dengan judul asli Lee Kuan Yew Masa Mudanya Penuh Derita.