Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya

Lily Wibisono

Penulis

Grid Networks Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya
Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya

Intisari-Online.com -Dorojatun diangkat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana IX pada 18 Maret 1940. Pernyataan raja berusia 28 tahun ini, “Meskipun saya dibesarkan dengan cara Barat, saya tetap pertama-tama adalah orang Jawa.”

Seorang republikan tulen, setelah kemerdekaan RI, HB IX selalu merasa enggan untuk merayakan hari ulang tahun pengangkatannya menjadi raja, karena terjadinya dalam masa penjajahan Belanda. HB IX hanya dua tahun merasakan berada di bawah Belanda, seperti kata ayahandanya di dalam mimpi.

Kemudian tibalah masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Ia mengawini selir pertamanya, Pintokopurnomo pada tahun 1940 dan mengambil tiga selir lagi dalam masa 6 -7 tahun setelah itu. Dari keempat istri yang semuanya berasal dari keluarga bangsawan itu ia memperoleh 21 anak, hanya enam anak lelaki. Anak pertamanya, perempuan, lahir pada tahun 1943, sedangkan putra tertuanya, yang kini HB X lahir pada tahun 1946. HB IX mengawini selir kelima, KRA Nindyakirana dikenal sebagai ibu Norma, pada tahun 1970-an. Satu-satunya yang bukan orang Jawa.

Buku A Prince in a Republic pada dasarnya ditulis oleh John Monfries sebagai tesis untuk program Ph.D-nya di Australian National University. Sebuah buku yang mengupas HB IX sebagai politisi, pandangan-padangannya, dan motivasinya. Sebagai sejarawan, ia mengupayakan pandangan yang jernih dari prasangka ataupun asumsi yang telanjur membungkus HB IX sebagai figur yang telanjur melegenda. Menurut pensiunan diplomat yang beristrikan Isti, asli Jawa, dan bermukim di Canberra ini, dia pribadi tidak begitu sreg dengan istilah ‘pahlawan’ atau hero. “Karena orang suka melupakan, bahwa pahlawan adalah manusia juga,” begitu alasannya.

Polemik panas yang terjadi kini, dalam konteks sejarah, adalah versi modern dari pertentangan dalam proses suksesi. Mengingatkan kita, bahwa sejarah tak jarang diukir dengan pena yang tajam sampai melukai, bahkan sampai menyebabkan pertumpahan darah. Di dalam sejarah di Jawa, khususnya di Kraton Yogyakarta, suksesi selalu pada garis keturunan laki-laki. Apakah HB X seorang raja yang sedang melakukan terobosan bagi keberlangsungan dinasti raja-raja Yogyakarta, ataukah sebaliknya, raja yang sudah kehilangan “pamor”-nya, seperti yang dituduhkan para pemrotesnya, hanya sejarah yang akan menentukan.