Penulis
Intisari-Online.com -“Cita-cita saya (dulu) jadi insinyur, menikah dengan putri ayu, punya rumah, dan kalau malam Minggu bisa piknik. Itu saja, tidak luar biasa,” kata Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun dalam wawancara dengan Forum Keadilan 4 Agustus 1994.
Sebagian keinginan itu memang tercapai. Ia jadi insinyur setelah menjadi pastor. Diawali dengan studi arsitektur di ITB (1959 - 1960), berlanjut ke Sekolah Teknik Tinggi Rhein, Westfalen, Aachen, Republik Federasi Jerman. Ia menamatkan studi teknik sipil tahun 1966, setahun setelah B.J. Habibie lulus dari universitas yang sama.
Tentu, pilihan hidup sebagai pastor tak memungkinkannya menikah (dengan putri ayu). Juga punya rumah dan piknik di malam Minggu. Tapi ia telah merancang dan membuat banyak “rumah”. Dari kompleks peziarahan Sendangsono, Gedung Keuskupan Agung Semarang, Bentara Budaya Jakarta, pelbagai bangunan lain, termasuk beberapa gereja. Tak main-main, beberapa karyanya membuahkan penghargaan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Awards 1991 dan 1993. Sedangkan penataan lingkungan di bantaran Kali Code, Yogyakarta, membuahkan The Aga Khan Award for Architecture 1992. Karya yang sama di tahun 1995 membuahkan The Ruth and Ralph Erskine Fellowship Award dari Stockholm, Swedia, kategori arsitektur demi rakyat yang tak diperhatikan.
Permukiman di tepi Kali Code, menurut dia, bukan sekadar penataan fisik semata. “Penataan lebih pada segi sosio-politis dan pengelolaan kemasyarakatan.” Memang bukan hal sederhana. Perlu totalitas dan napas panjang sampai Romo Mangun menjadi bapak dari masyarakat “Girli” (pinggir kali).
Itu pula yang dilakukannya sejak 1986 mendampingi masyarakat di Kedungombo, Jawa Tengah, yang memprotes pembangunan waduk dengan cara menggusur tanah mereka. Pembelaan kepada rakyat menempatkannya pada posisi berhadapan dengan pemerintah. Teror dan intimidasai ditemuinya, tetapi kejernihan hati nuraninya tak tercemar.
“Kalau saya dituduh melakukan kristenisasi kepada para santri, silakan tanyakan langsung kepada warga Kedungombo. Kalau saya dikatakan sebagai warga negara yang tidak taat pemerintah, saya jawab, ketaan itu harus pada hal yang baik. Orang tidak diandaikan untuk menaati perintah yang buruk. Apa yang saya kerjakan sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 dan Pancasila,” komentarnya tenang.
Perjuangannya berakhir ketika tanggal 5 luli 1994, Mahkamah Agung RI mengabulkan tuntutan kasasi 34 warga Kedungombo. Lebih dari itu, MA memutuskan ganti rugi yang nilainya lebih besar dari tuntutan semula.
Jangan menyalahkan kalimat kompleks
Di masa reformasi, 1997 - 1998 lalu, Romo Mangun ikut berdemo dan berorasi. Tanggal 20 Oktober 1998, ia mendampingi petani yang berunjuk rasa menentang monopoli politik pertanian.
Tentu, sebagai pengarang, karya tulisnya semakin kaya. Baik esai yang bertebaran di banyak media massa, cerpen, juga beberapa novel yang sarat akan pesan kemanusiaan. Dari Romo Rahadi (1981), trilogi novel sejarah akhir zaman Sultan Agung dan Susuhunan Mangkurat I abad ke-17 Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri (1983 - 1986), sampai Pohon-pohon Sesawi yang terbit setahun setelah ia meninggal.
Jumlahnya memang tak banyak, namun beberapa mendapat pujian. Selain penghargaan di dalam negeri, novel Burung-burung Manyar (1981) memperoleh hadiah dari Ratu Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia Write Award 1983. Tahun 1996 Romo Mangun menjadi orang kedua Indonesia (setelah Goenawan Mohamad pada 1992) yang memperoleh penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda, untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat.
Faruk, peneliti pada Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM mengomentari, “Karya-karya sastra Romo Mangun pada dasarnya berisi cerita tentang pengorbanan dan penyerahan kekuasaan yang tidak tertutup kemungkinan bagi munculnya pengkhianatan” (Gatra 20 Februari 1999).
Romo Mangun tidak hanya memberi bingkai sejarah dalam setiap tulisannya. Persoalan kultur dan dikotomi Barat - Timur pun dibahasnya dengan tajam. Demikian pula ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan bisnis yang disingkatnya ITIB, seperti termuat dalam kumpulan karangannya yang diterbitkan Kanisius dengan judul Pasca-Indonesia Pasca-Einstein (1999). Salah satu kekhasan, misalnya, ia menggunakan kata “Ordo” alih-alih istilah “Orde Lama - Orde Baru”.
Kalimatnya panjang-panjang, menggabungkan dua-tiga kata yang terkadang sulit dipahami. Namun soal ini Romo Mangun berkata, “Tulisan saya menggambarkan realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga.”
Mengenai novelnya, ia juga punya argumen yang sama, “Kalau Anda membaca karya sastra saya yang kompleks, memang Anda harus punya waktu, punya energi, punya niat untuk membaca karya sastra. Kalau tidak, ya, jangan membaca buku. saya. Kalau bodoh, ya sori, itu bukan untuk Anda. Jangan menyalahkan kalimat yang kompleks.” (Forum Keadilan, 4 Agustus 1994).Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Maret 2000 dengan judul "Romo Mangun: Merakyat untuk Dekat kepada Rakyat".