Find Us On Social Media :

Romo Mangun: Mengamalkan Filsafat Lilin

By Moh Habib Asyhad, Minggu, 24 Mei 2015 | 20:00 WIB

Romo Mangun: Mengamalkan Filsafat Lilin

Intisari-Online.com - Keteladanan YB Mangunwijaya alias Romo Mangun memang tidak hanya diwariskan lewat tulisan. Tindakannya, ketekunannya berada di rel kebenaran, menjadikannya bukan hanya panutan bagi orang seagama. Nilai-nilai humanisme disertai sikap-sikapnya, melintasi pelbagai agama maupun suku bangsa.

“Saya mengenal Romo Mangun sebagai seorang pejuang yang cinta perdamaian. Yang memberi perhatian khusus kepada umat manusia pada umumnya, khususnya bangsanya, lebih khusus lagi orang-orang yang menderita yang membutuhkan perhatian,” sambut Presiden RI ke-3, B.J. Habibie ketika jenasah Romo Mangun disemayamkan di Gereja Katedral Jakarta, 10 Februari 1999.

“Saya merasa kehilangan seorang tokoh yang pemikiran-pemikirannya sangat konstruktif bagi bangsa,” ucap Letjen TNI Agum Gumelar. Sedangkan pimpinan Pondok Pesantren Nurul Umahad Kotagede Yogyakarta, K.H. Abdul Muhaimin, menyatakan kagum atas pemihakannya pada orang miskin, orang-orang di pinggir sungai, dengan semangat suara moral dan bukan bertendensi politis dan teknis. Mahaguru sosiologi UGM yang telah tiada, Loekman Soetrisno, sempat berkesan, “Dia seorang pastor, yang tidak hanya dicintai umatnya, tetapi juga seluruh umat manusia Indonesia, khususnya yang tertindas.”

Pujian dari para tokoh itu ternyata tidak hanya diucapkan ketika ia meninggal. Lima tahun sebelumnya, 6 Mei 1994, Yayasan Dian/Interfidei Yogyakarta merayakan ulang tahun ke-65 Romo Mangun dengan seminar sehari mengupas pemikirannya. Kawan lamanya yang ketika itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Abdurrahman Wahid, kini Presiden RI, menyatakan, “Romo Mangun adalah pribadi utuh yang selalu menentang segala bentuk feodalisme.”

Ketua Indonesia Corruption Watch periode 1998 - 2008, Teten Masduki, menganggap Romo Mangun sebagai tokoh idola yang patut diteladani. “Saya tidak kenal dan belum pernah bertemu Romo Mangun. Tapi saya kagum atas keberpihakannya pada kaum kecil. Dialah inspirator saya dalam advokasi membela hak-hak buruh,” kata Teten.

Barangkali karena Romo Mangun hidup dengan menganut filsafat lilin, seperti diungkapkan budayawan Yogyakarta Bakdi Soemanto, menerangi sekitarnya kendati diri sendiri jadi hancur. Energi kemanusiaannya bagai tak habis meski pernah terhenti karena dua kali operasi jantung (di tahun 1980-an dan 1995). Akhirnya, serangan jantung pula yang memungkasi geraknya.

Tentu saja, tokoh sebesar Romo Mangun tak pergi dengan sia-sia. Faruk, dalam Gatra di atas menambahkan, “Biarpun secara fisik-biologis sudah meninggal, secara maknawi ia tetap hidup.”