Kesetiaan Membatik Secara Tradisional Sejak Zaman Jepang Alan Mbah Kulsum

Ade Sulaeman

Penulis

Kesetiaan Membatik Secara Tradisional Sejak Zaman Jepang Alan Mbah Kulsum

Intisari-Online.com - Di tengah-tengah hingar bingar Batik Banyuwangi Festival 2015 yang digelar Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, seorang perempuan berambut putih berusia lanjut masih setia membatik secara tradisonal di lorong rumahnya di jalan Bogowonto, Kelurahan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi. Perempuan tersebut bernama Kulsum yang mengaku sudah membatik sejak masih zaman Jepang.

"Kalau saya ya seperti ini kalau batik. Kalau anak sekarang sudah nggak sabar kalau seperti ini," jelasnya kepada Kompas.com, Sabtu (10/10/2015) sambil menggerakkan canting di atas kain warna putih.

Hebatnya, perempuan yang tinggal seorang diri di rumahnya itu melakukan semua proses membatik seorang diri, mulai menggambar pola hingga mewarnai.

"Biasanya saya kerjakan sekalian. Kalau menggambar sekalian berapa lembar kain termasuk saat seperti ini. Sebulan kira-kira saya selesaikan sekitar 20 lembar batik," jelasnya.

Awalnya dia membatik di dalam rumah, namun karena penglihatannya terganggu ia memilih mengerjakannya di lorong rumah. Ia biasanya memulai aktivitas membatik mulai jam 7.00 dengan tungku dari batu bata yang menyala serta kayu bakar.

"Untuk mencairkan malam saya masih menggunakan tungku sama kayu biar hasilnya bagus. Kalau pakai kompor hasilnya beda," jelasnya sambil menambahkan kayu bakar ke dalam tungku yang letaknya tepat di sebelahnya.

Turun-temurun

Mbah Kulsum bercerita, kemampuannya membatik ia dapatkan secara turun temurun dari keluarganya.

"Ibu, nenek dan mbah buyut saya semuanya pembatik. Daerah Temenggungan sini juga dulu banyak sekali perajin batik, tapi mungkin tinggal saya yang masih menggunakan cara kuno seperti ini," jelasnya.

Ia ingat mulai membatik sejak kelas 5 SD lalu berhenti sekolah dan membantu ibunya membatik hingga saat ini. Dari 12 bersaudara hanya dia satu satunya yang meneruskan tradisi membatik di keluarganya. Saat ini, ia dibantu oleh keponakan dan cucunya.

"Anak saya malah nggak ada yang bisa batik," katanya sambil tertawa.

Batik tulis buatan Mbah Kulsum biasanya dipesan oleh sanggar batik serta pelanggan yang langsung datang kepadanya. Satu bulan ia bisa menyelesaikan maksimal 20 lembar kain batik dengan berbagai macam motif antara lain Gajah Uling, Paras Gempal, Sekar Jagad, Kangkung Setingkes, Jajang Sebarong, Sembruk Cacing, Dilem Sempleh dan Mot Pitik.

"Kalau dulu warnanya hijau, putih dan coklat menggunakan tradisonal, tapi kalau sekarang sudah macam-macam," katanya.

Satu lembar batik tulis buatan Mbah Kulsum di hargai antara 250.000 sampai 300.000.

Terkait pewarna dan bahan untuk membatik, dia memilih membeli dari Bali karena harganya lebih murah dan lebih banyak pilihan warna.

"Dulu ada dari Jogja yang kadang datang ke Banyuwangi, tapi sekarang nggak ada, jadi ya saya minta tolong keponakan beli di Bali. Lebih murah," jelasnya.

Ia mengaku sudah beberapa kali mengajari orang untuk membatik, namun tidak ada yang serius untuk melestarikan batik tulis Banyuwangi.

"Rata-rata yang belajar ya cuma datang terus ndak dilanjutkan lagi. Kadang nelangsa, tapi ya gimana lagi. Kalau buat batik tulis seperti saya ini harus banyak sabar dan tirakatnya," tandasnya.

(Ira Rachmawati/kompas.com)