Penulis
Intisari-Online.com - Bau amis dan kumal. Begitulah umumnya pandangan orang terhadap anak-anak kampung nelayan di seluruh nusantara. Tak terkecuali di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Jangankan punya standar hidup elit, bisa makan tanpa banyak utang saja sudah bagus. Jangankan sekolah di perguruan tinggi, bisa menamatkan bangku sekolah dasar saja sudah terhitung lumayan.
Memang, bagi sebagian besar anak-anak nelayan Muara Angke mengenyam pendidikan adalah hal yang mustahi, apalagi sampai jenjang perguruan tinggi. Bagi mereka, kuliah hanyalah bunga tidur, apalagi di perguruan tinggi berstandar internasional.
Bagi mereka, hidup sejak kanak-kanak terhitung hanya itu-itu saja. Dari pagi hingga petang kehidupan hari-harinya hanya membantu orang tua mencari nafkah. Tak ada yang lain.
Pahitnya kenyataan hidup itu ternyata bisa "dibalik" oleh Elita Tirta Triningrum anak nelayan warga Jl Empang, perkampungan Nelayan Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara. Elita berhasil keluar dari kehidupan yang "itu-itu saja".
"Dulu, saya sendiri sering ikut orang tua ke laut untuk cari ikan. Biasanya saya disuruh ngumpulin hasil tangkapan atau membuang air laut yang masuk ke perahu supaya enggak tenggelam waktu menjaring ikan," kata Elita, Sabtu (10/10/2015).
Elita adalah satu dari sekian ribu anak nelayan yang kerap mengikuti kemana orang tuanya pergi melaut untuk mencari ikan. Semua itu dilakukan tak lepas dari beratnya himpitan ekonomi keluarganya. Kendati ibunya turut membantu ekonomi rumah tangga dengan menjadi penjahit, hal itu tetapi belum cukup untuk meningkatkan taraf hidupnya hingga bisa disebut layak.
Mengajar dan beasiswa
Boleh jadi, hanya semangat Elita yang bisa membuatnya keluar dari himpitan itu. Kendati serba kekurangan, anak bungsu dari tiga bersaudara ini bukan anak nelayan yang malas belajar dan apatis terhadap lingkungan sekitarnya.
Selain membantu orang tuanya mencari nafkah, Elita masih menyempatkan diri mengikuti pendidikan formal di salah satu SMK Remaja di kawasan Pluit. Bahkan, dia mengaku masih menyempatkan diri untuk mengajar anak-anak nelayan lainnya di PAUD, Paket A, B, C, TPA, serta menari.
Dia menuturkan, anak-anak nelayan di manapun masih sangat butuh bimbingan. Kemiskinan membuat mereka tak sempat memikirkan diri untuk mengejar ilmu. Namun, ia mengaku, beban hidupnya dalam membantu orang tua seperti hilang tiap kali membantu pendidikan bagi anak-anak nelayan lainnya di kampungnya.
"Kalau menjalaninya dengan ikhlas, semua pasti terasa ringan," kata Elita.
Terlihat menonjol di antara anak-anak nelayan lainnya membuat Elita menarik perhatian banyak pihak. Karena kegigihannya berbuat untuk lingkungan sekitar, ia pernah dikirim untuk menjadi Duta Anak DKI, peserta Kongres Anak Indonesia di Banten, serta Forum Anak Nasional.
Lebih dari itu, Elita bahkan menerima penghargaan berupa beasiswa penuh untuk menempuh pendidikan di Podomoro University. Kebetulan, beasiswa tersebut diberikan oleh PT Muara Wisesa Samudera (MWS) anak usaha PT Agung Podomoro yang menjadi pengembang proyek Pluit City di wilayah tersebut.
"Tak pernah mikir bisa kuliah, apalagi uang kuliahnya ratusan juta, enggak pernah," ujarnya.
(Latief/kompas.com)