Find Us On Social Media :

Masih Ada Kesempatan Kedua

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 1 April 2016 | 19:00 WIB

Masih Ada Kesempatan Kedua

Intisari-Online.com – Moore adalah seorang dokter terkenal dan dihormati di sebuah kota tua di Prancis. Melalui tangannya sudah tak terhitung nyawa yang diselamatkan.

Moore dulunya bukan sosok penolong yang membanggakan seperti sekarang. 20 tahun yang lalu Moore adalah seorang narapidana. Kekasihnya mengkhianati dia dan lari ke pelukan lelaki lain. Karena emosi, dia melukai lelaki tersebut, maka Moore beralih dari seorang mahasiswa di universitas terkenal menjadi seorang narapidana. Dia dipenjara selama 3 tahun.

Setelah bebas dari penjara, karena statusnya sebagai bekas narapidana menyebabkan Moore menjadi bahan ejekan dan penghinaan saat melamar pekerjaan. Dalam keadaan sakit hati, Moore memutuskan untuk menjadi perampok. Iia telah mengincar di bagian selatan kota, dan sebuah rumah yang akan menjadi sasarannya. Orang dewasa di rumah tersebut semuanya pergi bekerja, larut malam baru pulang. Di dalam rumah hanya ada seorang anak kecil buta yang tinggal sendirian. Moore pergi ke rumah tersebut, mencongkel pintu utama dengan membawa pisau belati.

Saat Moore masuk ke dalam rumah, sebuah suara lembut bertanya, “Siapa itu?”

Moore sembarangan menjawab, “Saya teman papamu, dia memberikan kunci rumah padaku.”

Suara lembut yang ternyata adalah si anak kecil buta terdengar sangat gembira dan tanpa curiga si anak buta berkata, “Selamat datang! Namaku Kay, tetapi papaku malam baru sampai ke rumah. Apa paman mau bermain sebentar denganku?” Dia memandang dengan mata yang besar dan terang tetapi tidak melihat apapun, dengan wajah penuh harapan, di bawah tatapan memohon yang tulus. Moore langsung lupa dengan tujuannya dan langsung menyetujui.

Yang membuat Moore sangat terheran-heran adalah anak yang berumur 8 tahun dan buta ini dapat bermain piano dengan lancar, lagu-lagu yang dimainkannya sangat indah dan gembira, walaupun bagi seorang anak normal harus melakukan upaya besar sampai ke tingkat seperti anak buta ini. Setelah selesai bermain piano, Kay melukis sebuah lukisan yang dapat dirasakan di dalam dunia anak buta ini, seperti matahari, bunga, ayah-ibu, teman-teman. Dunia Kay rupanya tidak sekosong kedua bola matanya, walaupun lukisannya kelihatannya sangat canggung, yang bulat dan persegi tidak dapat dibedakan, tetapi dia melukis dengan sangat serius dan tulus.

“Paman, apakah matahari seperti ini?” tanya Kay.

Moore melukis di telapak tangan anak ini beberapa bulatan, “Matahari bentuknya bulat dan terang dan warnanya keemasan.”

Kay mendongakkan wajahnya yang mungil bertanya, “Paman, apa warna keemasan itu?”

Moore terdiam sejenak, lalu membawanya ke tempat terik matahari, “Emas adalah sebuah warna yang sangat vitalitas, bisa membuat orang merasa hangat, sama seperti kita memakan roti yang bisa memberi kita kekuatan.”

Kay dengan gembira meraba ke empat penjuru dengan kedua tangannya, “Paman, aku sudah merasakannya, sangat hangat! Dia pasti akan sama dengan warna senyuman paman!”