Sejarah Kerajaan Majapahit: Kitab Sutasoma Dikarang oleh Seorang Pujangga hingga Menginspirasi Semboyan Negara

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Sejarah Kerajaan Majapahit: Kitab Sutasoma, salah satu kitab peninggalannya.

Intisari-Online.com - Tahukah Anda dalam sejarah Kerajaan Majapahit, kitab Sutasoma dikarang oleh siapa?

Sebelum mengetahuinya, dalam sejarah Kerajaan Majapahit tahun1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara.

Dalam menjalankan pemerintahannya, sejarah Kerajaan Majapahit mencatat bahwa ia didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan patih Hamangkubhumi.

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah kerajaan Majapahit mengalami puncak kebesarannya.

Untuk menjalankan politik Indonesianya, satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukan oleh Hayam Wuruk.

Akan tetapi politik Indonesia itu berakhir sampai tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa Bubat, yaitu perang antara orang Sunda dan Majapahit.

Dalam masa pemerintahannya, Hayam Wuruk sering mengadakan perjalanan keliling daerah-daerah kekuasaannya yang dilakukan secara berkala.

Pada masa ini bidang kesusastraan juga dikenal sangat maju.

Kitab Nagarakretagama merupakan kitab sejarah tentang Singhasari dan Majapahit yang berhasil dihimpun dalam tahun 1365 oleh Mpu Prapanca.

Sedangkan pujangga Mpu Tantular berhasil menggubah cerita Arjunawiwaha dan Sutasoma.

Kitab Sutasoma sendiri bercerita mengenai Pangeran Sutasoma.

Di dalamnya juga mengajarkan toleransi beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha.

Kakawin inilah yang menjadi sumber inspirasi dirumuskannya semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika.

Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa ini merupakan salah satu potongan kalimat yang terdapat dalam kitab Sutasoma.

Kalimat tersebut bermakna bahwa walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.

Kitab Sutasoma ditulis menggunakan aksara Bali dalam bahasa Jawa Kuno, dengan bahan naskah terbuat dari daun lontar.

Kutipan frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam KakawinSutasomapada pupuh 139 bait 5, berikut bunyinya.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Dalam bait tersebut dikatakan bahwa meskipun Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat dikenali.

Sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal.

Berbeda tetapi tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.

Bila diterjemahkan tiap kata, bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal berarti satu dan ika berarti itu.

Sehingga pengertian Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi tetap satu.

Baca Juga: Ketika Gajah Mada Membuatkan Candi untuk Raja Terbesar Singasari Alih-alih Majapahit, Masih 'Keluarga' Tribuwana Tungga Dewi?

(*)

Artikel Terkait