Find Us On Social Media :

Korban Emosional

By K. Tatik Wardayati, Minggu, 22 Mei 2016 | 18:20 WIB

Korban Emosional

Intisari-Online.com – Ada seorang ibu, ditinggal pergi suami yang "kepincut" wanita lebih muda. Lantas, hidupnya menjadi kacau, tak mau merawat diri lagi, keluar dari pekerjaan, dan akhirnya jadi beban keluarga.

Ada pula seorang karyawan yang seperti "kutu", pindah dari satu kantor ke kantor lain, ia selalu keluar dengan penuh kekecewaan, dan selalu merasa dirinya korban office politic di kantornya.

Ada juga seorang remaja bandel dan urakan, ikut geng motor hingga terlibat banyak kejahatan. Ia anak angkat, dan banyak menyalahkan orangtua angkatnya. Bahkan ia merasa dirinya korban dari orangtua kandungnya.

Mereka sama-sama merasa dirinya korban emosional (emotional victim). Sepanjang pengalaman saya, ada tiga kepercayaan yang mereka pegang teguh. Pertama, ia percaya, orang di sekitarnyalah yang paling bertanggung jawab atas kehidupan buruknya. Jadi, orang lainlah yang harus disalahkan.  Kedua, ia percaya, lingkunganlah yang bersalah sebab lingkungan begitu kuat membentuk dirinya. Ketiga, ia percaya, segala keputusan, sikap dan tindakannya tidak ada hubungannya dengan kondisinya saat ini. Jadi, ia tak punya andil apa pun atas apa yang dialami.

Bercerminlah dulu!

"If you want to know who is the most responsible for where you are in life, take a look in the mirror!" Benar, lihatlah ke cermin! Siapakah yang akan kita lihat? Ya, diri sendiri.

Sering kali kita lupa melihat kesalahan kita sendiri. Padahal sebagian besar dari apa yang kita alami, bisa jadi karena sikap, ucapan, maupun tindakan kita selama ini. Misal, seorang ibu mengutuki nasib sialnya punya anak bandel dan suka keluyuran. Mungkin anaknya memang nakal, tapi tanpa sadar si ibu sering memaki anaknya saat di rumah, sampai sekarang.

Atau, seorang atasan sering mengeluhkan sulitnya mendapatkan karyawan yang mau total bekerja dan mau melakukan kerja ekstra. Namun, ia sendiri tak pernah berkomunikasi dengan bawahannya ataupun bersedia memberi "ekstra" atas kerja bawahannya.

Berhentilah mengeluh!

Tatkala seseorang mulai menggunakan topi emotional victim, maka akibatnya jadi semakin negatif baginya. Di antaranya, mereka jadi tidak belajar apa pun, jadi semakin tidak dewasa, karena potensi mereka pun semakin tidak berkembang dengan sikap menyalahkan situasi dan lingkungan. Kehidupan mereka menjadi stagnan.

Memang, ada banyak pengalaman dan situasi yang menempatkan kita pada posisi sebagai korban {victim). Tetapi, kita bisa memilih menjadi seorang korban yang selamat {survivor). Bagaimana caranya? Seorang ibu bercerita, setelah suaminya pergi karena berselingkuh, ia jadi tahu potensi dan kemampuannya untuk membangun bisnisnya. Setelah ditipu berulangkali oleh partner bisnisnya, akhirnya seorang bapak memulai usahanya sendiri dan ternyata sukses. Mereka contoh orang yang mengalami masalah tapi selamat.Survivor.

Ada tiga prinsip menarik untuk pegangan. Pertama, berhentilah merasa menjadi penumpang, dengan terus-menerus meratapi nasib. Segera sibakkan segala hal buruk, maju ke depan dan ambil kembali kendali hidup. Kedua, berhentilah berbicara dalam bahasa sebagai korban. Misalkan, "Coba kalau saya enggak menikah dengan dia", "Coba situasinya lebih baik". Stop semuanya! Cobalah realistis dan bicaralah dalam bahasa kenyataan yang membangun, misalnya, "Memang tidak mudah menikah dengannya. Tapi saya akan bisa lewati", "Memang situasinya enggak mudah tapi apa yang bisa kita lakukan sekarang?".

Ketiga, berhentilah mengharapkan dan bermimpi hidup Anda akan lebih baik. Lakukanlah sesuatu untuk mewujudkannya. Simaklah kata-kata penulis favorit saya, Paul Mc-Gee, "SUMO (Shut up and move on)." Diamlah, jangan mengeluh. Mulailah bergerak! (Anthony Dio Martin – Intisari Oktober 2010)