Penulis
Intisari-Online.com – Dahulu sekali, sebelum ada internet, telepon, dan alat komunikasi lain, peran telegram sangat penting bagi kehidupan manusia.
Suatu saat pada zaman itu, perusahaan telegram sedang membutuhkan tambahan tenaga untuk operator telegraf. Mereka memberitakannya di seluruh sudut kota. Tentu saja, untuk menjadi operator mesin tersebut dibutuhkan kemahiran dalam menerima dan mengirimkan pesan dalam bentuk sandi morse.
Akhirnya hari wawancara pun tiba. Di perusahaan tersebut, terlihat sedikitnya ada 10 orang yang sedang menunggu panggilan wawancara. Mereka datang pada pagi hari, mengisi formulir yang disediakan, menyerahkannya pada sekretaris, dan kemudian menunggu panggilan wawancara. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang satu sama lain, di tengah bunyi-bunyi mesin telegraf dengan sandi morse-nya.
Pada siang hari, datanglah seorang pemuda. Ia berpakaian seperti layaknya para pelamar yang lain. Ia kemudian mengisi formulir yang disediakan, menyerahkannya pada sekretaris, dan kemudian duduk menunggu panggilan wawancara. Perbedaannya, ia tidak kemudian tenggelam dalam pembicaraan dengan pelamar lain, namun tetap fokus pada pikirannya sendiri.
Tak berapa lama, bangkitlah pemuda ini dari duduknya, dan tanpa ragu langsung memasuki ruangan wawancara, meninggalkan para pelamar lain yang heran melihat aksinya.
"Apa-apaan dia? Bahkan kita yang datang lebih awal belum berani untuk masuk," kata seorang pelamar.
“Tidak ada panggilan apa-apa. Kenapa ia nekat masuk?" kata yang lain.
"Ya sudah. Biarkan saja. Toh pewawancara akan memarahinya karena kelancangannya, dan berkuranglah satu kompetitor kita," kata seorang pelamar, dan pelamar yang lain pun setuju atas pendapatnya. Mereka pun tak lagi mengacuhkan si pemuda.
Tiba-tiba pintu ruang wawancara terbuka. Keluarlah si pemuda diikuti pewawancara. Pewawancara kemudian berkata, "Tuan-tuan yang terhormat, terima kasih telah datang dan menunggu untuk wawancara. Namun tampaknya saya harus memberitahukan bahwa pekerjaan tersebut tidak lagi kosong, karena pemuda inilah yang akan mengisinya."
Spontan seluruh pelamar yang lain menggerutu dan protes, "Tunggu sebentar... Kami sudah ada di sini lebih lama dari pemuda ini. Kami sudah menunggu lebih lama darinya. Dan kami juga tidak selancang dia yang tiba-tiba masuk tanpa adanya pemberitahuan apapun dari sekretaris Anda. Dan bahkan, kami tidak diberi kesempatan untuk diwawancara? Tolong beri penjelasan, dan kami butuh itu!"
Pewawancara dengan tenang menjelaskan, "Tahukah Tuan-tuan, bahwa sejak pagi tuan-tuan ada di ruang tunggu ini, saya sudah memberikan pengumuman, 'kepada siapa saja yang mau ikut wawancara, silakan masuk ke ruang wawancara'? Namun, tentu saja saya mengirimnya dengan sandi morse, karena untuk itulah Anda berada di sini. Namun sayangnya Tuan-tuan tidak mendengarkan secara seksama. Hanya pemuda inilah yang cukup jeli mendengarkan panggilan wawancara tersebut, dan karena itulah ia diterima."
Kisah tadi menggambarkan hidup kita. Terkadang, kita memang mengharapkan suara Tuhan. Kita memang membuka telinga kita dan menunggu Tuhan berbicara. Namun, kita hanya mengharapkan Tuhan berbicara lewat sesuatu yang spektakuler. Mengharapkan Tuhan berbicara lewat semak yang terbakar, lewat air bah yang meluluhlantakkan bumi, lewat mukjizat, lewat gempa, dan banyak hal dahsyat lainnya.
Tapi jangan lupa, bahwa Tuhan juga bicara di dalam angin sepoi-sepoi. Tuhan juga bisa memakai atasan kita, kolega kita, bahkan bawahan kita untuk menegur kita. Tuhan juga bisa memakai hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup kita, untuk mengingatkan kita akan kasihNya yang tak berkesudahan. Tuhan bisa memakai apapun.
Yang kita perlukan hanyalah tetap fokus padaNya. Jangan biarkan pikiran kita tenggelam dalam perbincangan duniawi di ruang tunggu. Biarlah mata dan hati kita hanya tertuju padaNya, biar kita dapat mendengar suaraNya, di tengah kebisingan suara dunia. (KBS)