Penulis
Intisari-Online.com – Suatu ketika, ada seorang anak sedang mengikuti sebuah lomba balap mobil mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab lomba ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang saja sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimilikinya. Semuanya buatan sendiri, karena memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Marko. Mobilnya tak sangat istimewa, namun ia termasuk dalam 4 besar finalis. Dibanding semua lawannya, mobil Markolah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang mobil itu penampilannya tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Marko bangga dengan mobil mainannya itu sebab mobil itu buatan tangannya sendiri.
Akhirnya, tibalah saat yang dinanti-nantikan. Final kejuaraan balap mobil mainan. Baik peserta lomba maupun penonton menahan napas. Dag dig dug, jantung mereka mulai berlomba lebih dahulu.
Setiap anak mulai bersiap-siap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkarang dengan 4 jalur terpisah di antaranya. Namun, sesaat kemudian, Marko tiba-tiba memberi isyarat; ia meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup ia memanjatkan doa.
Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap!”. Dan, ‘dorrr’, tanda lomba telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobil mereka sekuat-kuatnya. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo….ayo… cepat….cepat..maju….maju,” begitu teriak mereka.
Aha… sang pemenang akan segera dipastikan, semua makin mendekati garis finish dan apa yang terjadi, tali lintasan finish pun telah putus…. Dan, Marko-lah pemenangnya. Tepuk tangan dan ucapan selamat saling diberikan. Ya, semuanya senang, apalagi Marko. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih, terima kasih.”
Saat pembagian piala tiba. Marko maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”
Marko terdiam, agak malu juga karena wawancara ini didengar banyak orang. Ia menguatkan hatinya lalu menjawab lancar, “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan,” kata Marko. Ia lalu melanjutkan, “saya tidak minta pada Tuhan untuk mengalahkan orang lain. Saya hanya memohon kepada Tuhan, supaya jikalau saya ternyata kalah, saya tidak menangis.”
Semua hadirin terdiam terpaku mendengar kata-kata Marko itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Terlalu sering kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian, lalu kesombongan pun memenuhi hati kita. Dan kalau kita gagal, kalau kita kurang berhasil, kita marah, kita malu atau kita putus asa dan menangis tersedu-sedu. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk melenyapkan segala kesulitan, segala tantangan yang kita hadapi. Mengapa kita tidak seperti Marko berdoa agar kita tegar dan kuat dalam menghadapi setiap ujian dan kesulitan dalam hidup kita sehari-hari. (*)