Find Us On Social Media :

Singularitas dan Erwin Gutawa

By Lily Wibisono, Selasa, 8 Maret 2011 | 16:24 WIB

Singularitas dan Erwin Gutawa

Anda mungkin masih ingat beberapa berita di hari Minggu 27 Feb lalu. Media yang berbasis di Jakarta pasti tidak ketinggalan mengupas atau menurunkan/menayangkan laporan tentang konser A Masterpiece of Erwin Gutawa yang digelar di Jakarta Convention Center.

Sebagai penyuka musik dan pengagum (berat) Erwin Gutawa, saya pun amat mengapresiasi konser itu. Dari awal sampai akhir sang maestro berhasil membawa penonton bernostalgia ke belakang, tapi tak pernah membiarkan penikmatnya terlena terlampau jauh. Selalu ada kejutan baru yang menarik kami kembali ke masa kini.

Bukankah kehidupan pun seperti itu? Tak pernah lepas dari tarikan antara masa lalu dan masa kini. Hari-hari ini saya terlibat dalam sebuah proyek menyusun dokumentasi kehidupan sepasang merpati yang telah melampaui pesta perak, emas, dan intan. Sudah 62 tahun. Kebetulan mereka bapak-ibu yang melahirkan dan membesarkan saya. Menelusuri koleksi gambar dan video, saya serasa memandangi jejak-jejak kejayaan mereka di masa lalu. Padahal motivasi awal mengerjakan dokumentasi itu adalah untuk memberikan penghargaan kepada hidup mereka. Bukan meratapinya.

Barangkali pertanyaannya, cukupkah mengapresiasi hidup dengan mengagumi dan mengenang kejayaan masa lalu - saja? Pergelaran Erwin Gutawa menyadarkan saya betapa kayanya khasanah musik Indonesia. Alih-alih mendatangkan rasa sedih, menangisi kejayaan yang telah berlalu, pergelaran itu membangkitkan gairah dan optimisme. Ah, kreativitas memang dari dulu adalah kunci menuju dunia bernama Superioritas.

Kreativitaslah yang mengantarkan manusia dalam lajur cepat yang makin cepat. Kalau dari revolusi pertanian ke revolusi industri butuh 8.000 tahun, manusia cuma butuh 120 tahun untukmenemukan bohlam lampu. Setelah itu, hanya 90 tahun kemudian kita berhasil mendaratkan manusia di bulan; lalu 22 tahun berlalu dan terjadilah terobosan komunikasi lewat world wide web, dan sembilan tahun kemudianDNA manusia lengkap berhasil dipetakan.

Begitupun, dunia teknologi digital berkembang lebih hebat. Dari masa elektromekanik tahun 1920-an, kita telah memasuki teknologi Integrated Circuit yang kemampuan memori dan pikirnya berkembang demikian cepat. Eksponensial, sehingga Raymond Kurzweil, ahli komputer yang juga futuris, kepada majalah Time edisi 21 Februari 2011 berani meramalkan, pada tahun 2045, kemampuan komputer akan melampaui kemampuan semua otak manusia yang digabungkan menjadi satu! Saat itu akan menjadi penghujung era manusia seperti yang kita kenal sekarang. Barangkali manusia akan menyatukan diri dengan kecerdasan super ini, atau menggunakan komputer untuk meningkatkan kecerdasan dan fisiknya, atau membuat dirinya abadi. Atau ... sebaliknya, komputerberbalik akan melawan dan menyapu habis kita. Transformasi itu diberi nama: singularitas. Ini bukan main-main, karena NASA dan Google telah mendirikan Singularity University.

Terus terang, saya lebih suka menganggap itu semua lebih merupakan buah pikir kreatif dari dunia fiksi sains. Tidak peduli bahwa Raymond Kurzweil adalah pemegang 39 paten (salah satunya mesin pengalihsuara materi tulisan dan pemakai pertamanya Stevie Wonder), juga penerima 19 gelar doktor honoris causa dan anugerah National Medal of Technology dari Presiden AS Bill Clinton.

Tapi bagaimana kalau dia TERNYATA benar?

Apakah kreativitas yang kudu distop? Apa kiranya yang diperlukan sehingga kecerdasan yang kreatif itu tidak akan menghasilkan kecongkakan yang memperebutkan superioritas semata, menghasilkan senjata-senjata pamungkas, akal-akalan untuk mengelabui, kepiawaian untuk mencuri, kelihaian untuk manipulasi?

Barangkali kreativitas itu perlu ditemani oleh hati.Sepertinya kita perlu bangun dari hipnotis ambisi, prestasi, dan gengsi supaya hati kita akan “sempat” dimampukan untuk menangis karena empati, tertawa karena bahagia, berkorban karena cinta. Hati yang merasakan, memahami, dan mencintai.

Ada banyak jalan untuk mengasah hati. Salah satunya lewat seni musik, tari dan pertunjukan, seperti yang disajikan oleh Erwin Gutawa dan teman-teman. Bukankah bangsa kita amat kaya dengan pelbagai bentuk ekspresi seni. Kalaupun kecerdasan digital akan berhasil melampaui kecerdasan manusia suatu hari nanti, saya masih optimis kok, ia tidak akan membawa petaka bagi kita karena kita bangsa yang ber-hati. Iya ‘kan ... ?!