Find Us On Social Media :

Neng Apri Yang Cuek Abiz

By Lily Wibisono, Senin, 6 Februari 2012 | 12:00 WIB

Neng Apri Yang Cuek Abiz

Intisari-Online.com - Afriyani Susanti. Segala jenis model caci-maki, sumpah-serapah dalam berbagai versi: gambar, foto, cerita, guyonan di sms, tercurahkan di media elektronik. Bagaimana tidak geram? Hari Minggu pagi, yang mestinya saat nyantai bahagia banyak keluarga di Jakarta, dikejutkan dengan berita super-mengerikan. Peristiwa mengerikan yang terlahir karena kebodohan. Kebodohan yang dihasilkan dari kelalaian. Kelalaian yang terbentuk karena sikap cuek abizzz.

Usianya yang belum tiga puluh tak tampak pada wajahnya yang tampak jauh lebih tua. Kemarin ada ungkapan maaf dalam yang diungkapkannya kepada semua pihak lewat surat yang dibacakan, termasuk kepada Yang Mahakuasa. Saya kira, kalaupun ia mengulang permintaan maafnya sampai 7 x 7 x 7 x 7 x 7 sampai tak terhingga, rasa sesal itu tidak akan hilang dari sisa kehidupannya.

Satu pertanyaan yang langsung terpikir adalah, “Bagaimana seseorang bisa menunjukkan semua indikasi tak peduli lagi pada apa pun?”

Masih ingat Gerakan Koin Peduli Prita di akhir tahun 2009 lalu? Hanya dalam tiga hari jumlahnya menembus setengah milyar. Lebih dari dua kali jumlah denda yang harus dibayar Prita sebagai pihak yang kalah di pengadilan. Setelah itu bermunculan macam-macam gerakan koin peduli untuk berbagai keperluan yang intinya pengerahan massa untuk membantu pihak yang lemah.

Betapa dahsyat kekuatan yang muncul hanya karena satu kata: peduli. “Peduli” itu mengatasi keterbatasan kekuatan fisik, finansial, politik, apa pun. Karena peduli pada orang-orang papa di Calcutta, Ibu Teresa, perempuan tua, kurus, yang cuma biarawati tanpa lembaga apa pun, dapat menundukkan wibawa kepala negara adikuasa sekalipun.

Karena peduli pada rakyat Myanmar, Aung San Suu Kyi mampu menjadi tiang kekuatan bagi rakyat Myanmar. Dia juga mampu mengatakan, “Masih banyak yang lebih menderita dari saya.” Padahal karena pilihan perjuangannyanya ia dihukum sebagai tahanan rumah selama belasan tahun dan berpisah dari anak dan suami yang dicintainya.

Karena peduli pada anak-anaknya, seorang ibu atau bapak rela menahan lapar, menahan kantuk, asalkan anak atau bayi mereka bisa makan dan minum. Karena peduli kepada murid-murid, banyak bapak dan ibu guru di Indonesia yang rela bekerja sepenuh hati meski gaji tak mencukupi.

Namun, sebelum semua kepedulian itu ada, yang pertama mesti ada barangkali peduli pada diri sendiri. Orang yang memanjakan diri sampai pada tingkat tak peduli pada apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, asalkan awak senang untuk detik ini; kalau seseorang mengikuti rasa malasnya, tak mau lagi bekerja dengan benar, atau belajar dengan sungguh-sungguh untuk membangun masa depan; kalau … (silakan diisi sendiri) bukankah itu pertanda tak peduli lagi pada diri sendiri? Nah, kalau kita tak peduli lagi pada diri sendiri, bagaimana dapat diharapkan peduli pada orang lain?

Peduli. Sebuah kata yang simpel tapi bisa menjadi nukleus kekuatan yang dahsyat. Hati-hati, kalau hari-hari ini Anda dilanda penyakit malas dan cuek. Jangan sampai ada Afriyani-Afriyani lain .... Cuek dan tak peduli bisa mengubah seorang pribadi menjadi monster yang merusak, merugikan, bahkan membunuh. Please ... jangan sampai ....