Intisari-Online.com -Keti diselamatkan oleh Mala, saat sedang disiksa seorang anak, mau ditenggelamkan di selokan. Waktu itu Keti cuma anak kucing yang amat mungil. Entah iblis apa yang merasuki si anak yang tega itu. Setelah itu, beberapa kali lagi Mala menyelamatkan Keti dari celaka. Misalnya ketika ia terperangkap di bawah atap.
Keti tumbuh besar di bawah asuhan Mala dan menjadi "one woman cat". Baginya Mala adalah dewi penyelamat, ibu yang menemani dia tidur dan memberinya makan minum, serta tabib kalau ia sakit. Tetapi semua manusia yang lain baginya menakutkan.
Ketika Keti remaja, ia hamil dan melahirkan tiga ekor anak kucing yang lucu-lucu. Selama sebulan Keti setia mengeloni ketiga anaknya di dalam kandang. Mala dengan sabar merawat ketiga anak kucing itu. Maka Mala pun menjadi dewi, ibu, perawat, dan pengasuh bagi mereka.
Namun, sayang, ketiga anak kucing itu selalu lari terbirit-birit setiap kali berada di sekitar manusia, tanpa provokasi apa pun. Aneh memang, di satu sisi mereka hewan piaraan yang sudah amat domesticated, makan dilayani, tidur juga di dalam kandang, tetapi ketakutannya kepada manusia masih seperti binatang liar yang tak pernah kenal manusia. Tampaknya, trauma masa kecil telah menyebabkan Keti menularkan ketakutan kepada anak-anaknya. Anak-anaknya, barangkali hanya meniru perilaku induknya.
Anak manusia pun tak berbeda. Gerbang termudah bagi mereka untuk memasuki pengetahuan atau keterampilan baru juga lewat meniru. Anak perempuan meniru ibunya memakai pemerah bibir atau memakai sepatu high heels ibunya. Anak laki-laki meniru cara berpakaian bapaknya. Kalau bapaknya biasa tidur dengan sarung, ia pun akan begitu. Kalau bapaknya terbiasa keluar dari kamar mandi sehabis mandi dengan bersarung handuk, anak laki-lakinya akan meniru. Kalau bapak ibu terbiasa makan di meja makan dengan sendok dan garpu, anak-anak pun akan meniru. Kalau mereka makan dengan bersila di atas tikar dan menggunakan tangan, mereka pun akan meniru. Termasuk cara berkomunikasi: bahasa yang dipakai, bahasa tubuh, dst.
Ki Hajar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional, pernah memperkenalkan prinsip 3N dalam pendidikan: Niteni, Nirokake, Nambahi (Jw: memperhatikan, meniru, menambahkan). Prinsip sederhana nan indah, karena diambil berdasarkan apa yang terjadi di alam. Ajaklah anak, peserta didik, siapa pun yang Anda didik untuk memperhatikan, lalu menirukan, dan lalu memperkaya apa yang telah ditirunya itu.
Ada ajaran lain dari Ki Hajar Dewantara yang juga amat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman Siswa.
Mutiara makna yang sering diangkat dalam konteks kepemimpinan ini, sangat pas diterapkan dalam konteks keluarga. Ketika mengambil peran pemimpin, saatnya orangtua memberikan teladan. Di kala lain, terutama saat anak mulai tumbuh besar, orangtua mulai mengambil peran pendamping. Cukup menjadi “pemandu sorak” saja. Ada masanya orangtua harus rela menempatkan diri di belakang, terutama pada saat anak perlu membuktikan kemampuan diri.
Sebuah bangsa yang besar dibangun di atas cita-cita luhur bersama. Tapi bangsa itu tak akan tumbuh besar dan kuat tanpa tiang-tiang penyangga berupa manusia-manusia berkarakter. Mungkinkah di masa depan, Indonesia kembali memiliki pemimpin-pemimpin bangsa yang cerdas dan berkarakter?
Tak usah melirik ke foto Ki Hajar Dewantoro. Tak perlu juga mengecek hari ini tanggal berapa, karena seyogianya setiap hari adalah Hari Pendidikan Nasional. Ya, “institusi pendidikan” itu ada pada diri kita semua.