Ada Gunung Padang, Ada Kalumpang

Lily Wibisono

Penulis

Ada Gunung Padang, Ada Kalumpang

Cerita tentang situs pubakala selalu membangkitkan rasa ingin tahu, karena situs-situs itu adalah gerbang menuju ruang misteri bernama masa lalu. Bagaikan buku yang mesti dibaca dengan teliti manusia akan memperoleh pencerahan tentang jati dirinya.

------------------------------------------------------------

Berita tentang situs Gunung Padang memang menarik. Situs Megalitikum Gunung Padang terletak di ketinggian sekitar 895 m dpl Desa Karyamukti, Campaka, Cianjur, Jawa Barat. Terdiri atas lima teras, yang semakin menjauh semakin meninggi. Puncak tertinggi bangunan punden berundak di puncak bukit Gunung Padang itu sekitar 1.100 m dpl.

Tengoklah gambaran bangunan yang mengagumkan itu. “Sudah sebegitu majunyakah peradaban Nusantara 4.000 tahun lalu?” begitu Anda akan berpikir. Tentu perjalanan masih jauh sebalum kita tiba pada jawaban mengenai kenapa, bagaimana, siapa-nya bangunan purba yang indah itu.

Wonderful things

Ketika Howard Carter pada tanggal 26 November 1922, mengintip melalui lubang kecil yang dibuatnya ke dalam bagian utama makam Firaun Tutankhamun, di Lembah Raja-raja di Mesir, Lord Carnavon sang penyandang dana bertanya dengan berdebar-debar, “Adakah yang kaulihat?”

Carter menjawab, “Yes, wonderful things”. Temuan yang mendapat liputan media massa itu kemudian menghebohkan dunia karena sampai sekarang pun situs tersebut merupakan temuan makam firaun terutuh yang pernah ditemukan. Sumber pengetahuan tak terkira tentang kehidupan Mesir masa lampau. Dan jawaban Howard Carter itu dikutip dan diulang oleh seantero dunia yang terbawa dalam eforia penemuan makam si Raja Tut. Bahkan 9 Mei 2012, Google menayangkan gambar-gambar mengenang Howard Carter pada hari ultahnya yang ke-138 tahun, meski ia sudah meninggal 74 tahun lalu. Sebegitunya penghargaan masyarakat dunia kepada seorang arkeolog penemu.

Wonderful things, hanya demi itukah? Dorongan untuk mempertanyakan diri, sejenak menyingkirkan rasa percaya diri sebagai manusia modern yang “serba” maju, sebenarnya sudah hadir sejak dulu. Buktinya, bukan kita saja yang tergerak untuk membuka lembaran masa lalu lewat benda-benda warisan sejarah. Sekitar 2.500 tahun lalu, adalah Ennigaldi, putri Raja Nabonidus, raja terakhir Emporium Neo-Babilonia. Sekitar tahun 530 SM ia mendirikan museum tertua di dunia. Museum yang menjajarkan “wonderful things” dari masa sebelum 2.500 tahun itu kemudian ditemukan kembali oleh Leonard Woolley pada tahun 1925.

Kini dengan globalisasi, ada begitu banyak situs arkeologi dari pelbagai lapisan zaman yang telah semakin diangkat lagi harkatnya sebagai objek pariwisata. Tentu karena situs itu setelah selesai diekskavasi, diteliti, ditata kembali, lalu dikemas sebagai sajian pengetahuan siap pakai.”Wonderful things” itu bagi pengunjung menjadi etalase kehidupan masa lampau.

“Ensiklopedia” yang terancam

Saya pun jadi teringat pada situs Kalumpang di hulu Sungai Karama, sungai terpanjang di Sulawesi Barat. Secara administratif kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju.

Bagi yang belum tahu, inilah satu-satunya situs peradaban tertua di provinsi itu, yang oleh para arkeolog dikatakan sebagai salah satu mata rantai di dalam mengetahui perkembangan manusia prasejarah Nusantara, yang terentang 3.500 tahun lalu.

Kalumpang masuk ke tataran pembicaraan dunia saat P.V. van Stein Callenfels, mengomunikasikan hasil penelitiannya pada Kongres Prasejarah di Manila pada tahun 1951. Sejak itu, Kalumpang banyak didatangi peneliti baik dalam maupun luar negeri. Dan dari hasil penelitian mereka, Kalumpang dan DAS (Daerah Aliran Sungai) Karama adalah bagaikan tumpukan harta karun pengetahuan prasejarah yang terkait dengan kehidupan kaum penutur Austronesia, leluhur bangsa kita. Puluhan situs sudah teridentifikasi dan baru sedikit yang sudah atau sedang diteliti. Bagai ensiklopedia yang siap dibuka untuk menelusuri asal-usul, persebaran, dan perkembangan bangsa Indonesia.

Sedihnya, kawasan Kalumpang kini ditetapkan menjadi calon lokasi pembangunan PLTA. Pemerintah Sulawesi Barat merencanakan akan merelokasikan penduduk yang sudah ribuan turun-temurun menempatinya. Masyarakat arkeologi pun menjerit. Setidaknya sudah ada Ekspedisi Save Our Kalumpang di awal tahun ini dan sepucuk surat keberatan dan imbauan dari arkeolog Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Universitas Indonesia dilayangkan kepada Gubernur Sulawesi Barat.

Setelah dunia begini menyatu, atas nama umat manusia rasanya bangsa Indonesia tak bisa menghindar dari tanggung jawab untuk menjaga keutuhan “wonderful things” dalam kekayaan intelektual, budaya dan sejarahnya. Mudah-mudahan takkan terjadi tragedi yang merugikan sekaligus memalukan diri dan anak-cucu kita di Kalumpang, yang bahkan mungkin akan bisa membuat P.V. van Stein Callenfels, “Sang Bapak Prasejarah Indonesia” itu menangis dalam kuburnya.