Find Us On Social Media :

Puasa yang Panjang

By Lily Wibisono, Rabu, 25 Juli 2012 | 15:12 WIB

Puasa yang Panjang

Intisari-Online.com - Kemiskinan dan penderitaan dapat dilihat sebagai sebuah "masa puasa' dan "mati raga" yang panjang. Bila disikapi dengan positif, masa itu dapat menjadi mproses pembentukan karakter yang krusial untuk meraih sukses

Perihal manfaat puasa bagi lahir dan batin, semua sudah mahfum. Salah satunya tentu mengasah ketangguhan mental dalam menahan derita. Masalahnya, derajat derita setiap orang tak sama.

Kita yang sehari-hari cukup pangan, sandang, dan papan, menahan lapar sepanjang hari barangkali sudah merupakan perjuangan. Akan tetetapi baiklah kita ingat bahwa di Jakarta ada 363.200 orang berada di bawah garis kemiskinan (BPS, Maret 2012). Jumlah itu hampir 30.000 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk kecamatan terpadat di Jakarta Utara, Kec. Tanjung Priok. Dengan hanya Rp13.235/hari/kapita di kantong untuk makan sehari, jatah makan tiga kali sehari tentu jadi upaya yang butuh akrobat.  

Bagaimana dengan potret nasionalnya? Data BPS Maret 2010 mengatakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia 31 juta orang (lebih dari tiga kali lipat penduduk DKI), sekitar 64%-nya ada di pedesaan. Hanya saja angka-angka itu tentu tidak bicara banyak, kalau tidak diilustrasikan dengan kondisi riil keseharian. Misalnya pengalaman seorang kawan saya, sebut saja Firza.

Mati raga setiap hari

Firza berasal dari sebuah kota kecil. Karena prestasi akademiknya bagus, ia diterima di sebuah universitas negeri yang baik, lewat jalur beasiswa. Kebetulan letaknya jauh dari kota tempat tinggalnya. Berhubung orangtuanya kurang mampu, mereka hanya bisa membekali dia sangat sedikit. Maka ia pun sering harus tidak makan selama menjadi mahasiswa. Baginya, masa belajar itu menjadi masa prihatin, laku puasa, dan pantang yang bertahun-tahun. Baru setelah lulus dan bekerja, ia mampu makan tiga kali sehari seperti teman-temannya.

Harian Kompas 24 Juli 2012 memuat berita tentang para penerima beasiswa Sampoerna Foundation. Banyak dari mereka berasal dari kalangan prasejahtera. Ketika akhirnya berkesempatan belajar di Amerika Serikat, tidur di asrama, dan hidup dengan standar fasilitas universitas, ada yang sampai terkaget-kaget. Ternyata penyebabnya sepele saja. Alas tidur yang empuk, selimut yang nyaman bikin sebagian tersiksa. Bagi para pemuda ini, kasur dan selimut adalah barang mewah yang baru mereka kenal di sana.

Padahal bukankah bagi banyak orang, tidur di alas keras sudah bisa menjadi satu cara untuk mati raga? Sesuatu yang bagi beberapa  mahasiswa/i penerima beasiswa tersebut, “mati raga” itu merupakan keniscayaan keseharian mereka. Toh dengan segala keterbatasan fisik dan fasilitas, mereka telah membukukan prestasi dengan meraih peluang bea siswa.

Anda barangkali telah membaca buku Ganti Hati, karya Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Di situ ia menceritakan, masa kecilnya ketika ia harus berangkat ke sekolah dan pulang dengan berjalan kaki tanpa alas kaki selama satu jam, masing-masing. Ia baru bisa memiliki sepatu setelah SMA, itu pun sepatu kets bekas yang bagian jempolnya sudah berlubang. Sepatu itu hanya dipakai pada hari Senin ketika ia menjadi komandan upacara. Apakah situasi serba keterbatasan itu yang telah menggemblengnya menjadi manusia berkarakter gigih seperti sekarang?

Apakah untuk menjadi pribadi unggul, yang gigih, yang pantang menyerah, kita harus melalui kondisi miskin merana? Sebaliknya, apakah semua orang yang pernah mengalami kemiskinan pasti akan menangguk kesuksesan?

Latihan

Tidak semua orang mendapatkan nasib demikian buruk (atau “baik”, tergantung dari mana kita melihatnya) untuk menjadi demikian miskinnya. Tetapi nyatalah kondisi keterbatasan dan keterjepitan, dapat menjadi berkah kalau kita dapat mengambil manfaatnya; dan manfaat itu ada pada proses asah dan uji mental yang luar biasa.