Find Us On Social Media :

Setelah Jokowi Nonton Guns N' Roses

By Lily Wibisono, Senin, 17 Desember 2012 | 20:11 WIB

Setelah Jokowi Nonton Guns N' Roses

Intisari-Online.com - Melihat foto Jokowi dalam T-shirt Guns N' Roses kemarin, saya terhenyak. “Oh, Pak Gubernur kita ini suka juga pada musik metal!” Terlepas dari alasan sebenarnya beliau menonton (sebagai gubernur, ‘kan bisa saja alasan beliau ke sana adalah untuk mengecek penyelenggaraan tontonan macam itu, misalnya), saya bertanya diri, “Apa salahnya Pak Jokowi menyukai Guns N Roses?”

Sama halnya bila kita memandang para mantan penyanyi atau bintang cilik. seperti Joshua Suherman yang kini pemuda 20 tahun.  Joshua terus bekerja mengubah positioning-nya lewat kiprah di pentas musik, menjadi presenter, bintang sinetron, dsb. Tapi mantan penggemarnya dulu, salah satunya saya, masih suka mengenang sosok dan suaranya yang lucu. Memories die hard.

Dari waktu ke waktu kehidupan menyediakan ruang belajar yang tak terbatas. Kemajuan teknologi informasi bahkan memungkinkan informasi datang serupa banjir bandang. Namun, di level persepsi ternyata dinamika arus informasi tidak serta-merta mengimbas.

Sandy Hook dan Negara Koboi

Latar belakang edukasi, budaya, pengalaman hidup mempengaruhi cara pandang kita terhadap suatu kejadian atau masalah. Untuk mengubah persepsi yang sudah telanjur terbentuk …  alangkah alotnya! Peristiwa penembakan massal di SD Sandy Hook, Newtown, Connecticut , AS, baru-baru ini misalnya. Seseorang yang telanjur memiliki persepsi bahwa AS adalah “negara koboi” (citra ini sempat mencuat pada masa pemerintahan Presiden George Bush Jr.), akan berkomentar, “Pantas saja, makanya saya suka ngeri pada orang Amerika. Mereka koboi. Suka main tembak.”

Seorang edukator, mungkin akan lebih masuk ke sisi empati dan emosional. Apalagi melihat foto-foto korban cilik yang masih begitu lugu dan lucu. “Apa yang membuat seseorang bisa bertindak begitu kejam?” Barangkali demikian komentar mereka.

Bahwa ASI itu baik untuk kesehatan bayi, semua sudah tahu dan menerimanya. Tapi tahukah Anda bahwa ASI juga dimanfaatkan sebagai obat mata untuk orang dewasa? Itu saya ketahui ketika melihat seorang kawan mengacungkan sendok makan kepada rekan lain yang sedang memerah ASI. “Untuk temanku yang sedang sakit mata,” katanya. Keampuhan ASI sebagai obat memang belum didukung oleh penelitian yang cukup. Toh saya sempat terperangah setengah protes, “ASI? Untuk obat mata?”

Hedy Lamarr dan persepsi perempuan cantik

Banyak kali kita tak sadar, persepsi menjadi dinding-dinding tebal yang mengalangi pandangan bebas ke luar. Menutup peluang untuk terobosan, menghapus keberadaan sudut-sudut pandang LAIN terhadap suatu masalah. Lebih parah lagi, menutup sisi buruk seseorang karena Anda sudah telanjur suka sama dia. Atau sebaliknya, membutakan Anda terhadap kebaikannya lantaran pengalaman buruk yang pernah terjadi.

Bagaimana persepsi bisa memperdaya dipaparkan oleh Richard Rhodes dalam buku terbarunya Hedy’s Folly: The Life and Breakthrough Inventions of Hedy Lamarr, The Most Beautiful Woman in the World (2012). Pemenang Pulitzer untuk buku The Making of The Atomic Bomb (1986) ini mengungkapkan kebenaran yang sangat “mengherankan”. Hedy Lamarr, bintang film Hollywood yang pesona kejelitaannya pernah membius dunia, ternyata juga seorang inventor serius. Ia berbagi hak paten dengan George Antheil untuk temuan teknik komunikasi nirkabel di masa prakomputer. Seandainya Hedy bukan perempuan menarik, bintang film pula, mungkin fakta ini tidak akan sampai dibukukan, dua belas tahun setelah ia meninggal.

Tidak melupakan bahwa ada fakta dan ada persepsi, itulah tugas kita.

*** Persepsi adalah halusinasi yang dikendalikan dari luar. (Roger N. Shepard, pakar psikologi kognitif dan matematis, 1929 -) ***