(Mestikah) Dua Realita, Dua Dunia?

Lily Wibisono

Penulis

(Mestikah) Dua Realita, Dua Dunia?

Intisari-Online.com - Kicauan (twit) dari Feeny: "It's a time of year that you can think back and appreciate the real gifts you received." #christmas #boymeetsworld adalah twit yang paling top di-retweet pada hari Natal di belahan dunia barat yang beda sekitar 12 jam dengan waktu kita.

Terus terang, merenung itu makin “mahal”, berhubung tidak dapat, atau sangat sulit, dikerjakan sambil berbincang, baik off-line maupun on line. Padahal, di-RT (retweet)-nya ungkapan tersebut di atas sampai lebih dari seribu kali, menandakan orang masih memandang perlunya kita melakukan kontemplasi.

Seorang pakar social media di AS, Baratunde Thurston, berbagi pengalaman di National Public Radio. Dalam suatu kesempatan ia bersama sekelompok orang lain berkumpul untuk mengamati jalannya proses pemilihan presiden AS. Lucunya, si pemandu acara dianggap angin lalu. Dicuekin. Hadirin sudah tenggelam dalam proses itu lewat gadget masing-masing. Tak ada yang merespons apa pun yang diucapkan si pemandu. Sampai akhirnya terlontar sindiran dari si pemandu, “Apakah saya sebaiknya bicara lewat sms saja kepada Anda semua?”

Maya?

Padahal realita di dunia on-line, yang sering diterjemahkan sebagai “dunia maya” adalah “REALITA”. Angka-angka, peristiwa yang ditayangkan sama nyatanya dengan didengar off-line, media siar, atau layar kaca, selebaran, atau brosur. Malah biasanya tiba lebih cepat. Mana yang realita, mana yang maya?

Barangkali karena itu siapa pun yang saat ini sedang merayakan Natal, atau merayakan kebersamaan dengan keluarga, tidak dapat menghilangkan perasaan bersalah, karena gadget terpaksa agak disimpan dulu. Masa, Anda akan ber-gadget ria saat sowan kepada Bapak dan Ibu, Om dan Tante, atau kakek dan nenek Anda? Atau saat Anda menjadi tuan rumah dalam acara gathering? Kecuali Anda siap mendapatkan julukan “dasar tidak ada unggah-ungguh-nya”, atau kurang tahu adat.

Sepertinya sudah waktunya kita meredefinisikan istilah “maya” . Sudah waktunya kita tidak lagi mengatakan bahwa yang “real” itu cuma off-line; sedangkan yang on-line itu “maya”. Bagaimana kita dapat menyebut gerakan komunitas di social media (@indonesiamengajar, @indonesiaberkebun, dll.) yang dalam banyak hal telah membangkitkan sisi kebajikan banyak orang Indonesia, dan nyata-nyata berkontribusi bagi masyarakat, sebagai gerakan di “dunia maya”?

Tanpa menafikan bahwa relasi di media on-line masih cukup rawan bahaya, terutama berkaitan dengan identitas dan tanggung jawab, para aktivis social media tetap perlu menyepakati etika yang akan mereka anut supaya tak perlu lagi ada pertentangan antara “yang di darat” dan “di udara”. Atau antara “yang di kabel” dan “yang tatap muka”, or whatever you might call them.

Etika

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Karena itu dorongan mereka untuk bersosialisasi, janganlah malah semakin menambahi beban hidup mereka. Solomon Asch (1907 – 1996), pionir dalam bidang psikologi sosial, membuktikan dalam salah satu penelitiannya yang tersohor bahwa orang bisa saja meninggalkan keyakinannya sendiri saat mesti berhadapan dengan mayoritas. Apalagi masyarakat Timur yang daya konformitasnya amat tinggi.

So, kembali pada pertanyaan: “Pada saat hari raya dan libur besar, saat family gathering, bagaimana aturan mainnya agar kedua dunia, baik off-line maupun on-line dapat dipuaskan?"

Selamat hari Natal bagi yang merayakan, selamat berlibur bagi yang tidak. Jangan biarkan gadget menjauhkan Anda dari yang orang-orang terkasih. Oops ..!

@lily_wibisono