Find Us On Social Media :

Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu (1963-2)

By Lily Wibisono, Minggu, 18 Agustus 2013 | 08:30 WIB

Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu (1963-2)

Intisari-Online.com - 17 Agustus 1963 – 17 Agustus 2013, 50 tahun, setengah abad. Itulah Majalah Intisari. Simak “perjalanan hidupnya”dalam rangkaian artikel “Majalah Kecil Yang Menerobos Dinding Waktu”.Pada nomor-nomor pertama, aturan pengeditan masih belum konsisten, terutama dalam hal kebahasaan dan pencantuman kredit penulis. Tulisan-tulisan hasil liputan “orang dalam” sering kali cukup ditulis dengan kredit “wartawan Intisari”, atau tanpa kredit sama sekali.  Namun, di saat lain ada karya saduran ditulis nama pembuatnya secara byline

Rubrik perkara kriminal boleh dikatakan rubrik abadi. Mulai dimuat pada edisi bulan Oktober No. 3, rubrik ini berkembang menjadi ciri khas Intisari sampai sekarang. Pada nomor perdana, Soe Hok Djien (kemudian mengubah namanya menjadi Arief Budiman) menuliskan pengamatannya tentang dunia seni lukis, alam Bali dan manusia-manusianya. Membayangkan ia mandi telanjang rame-rame di kali dengan air yang sangat sejuk bersama-sama anak-anak kampung di Ubud, membangkitkan pertanyaan, “Masihkah pengalaman yang sama dapat dialami di Ubud hari ini?”  

Rentang waktu lima puluh tahun tak jarang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari masa itu. Misalnya Drs. Kho Khik Giam menulis sebuah opini berjudul  “Bahasa Inggeris Dapat Menjadi Bahasa Dunia?” di edisi  No. 2. Kini tak ada yang bisa menyangkal, bahasa Inggris telah menjadi bahasa dunia. Bahasa Indonesia, yang dalam artikel tersebut disebut memiliki peluang untuk menjadi bahasa terkemuka di Asia Tenggara, kini malah makin kalah pamor dengan bahasa Inggris, bahkan di kandang sendiri.

Nomor kedua mengangkat tulisan Usmar Ismail dalam artikel “Film Saja Yang Pertama”. Pelukis Nashar pun menulis “Humor Pelukis” . Kedua orang ini adalah tokoh pada masanya. Namun banyak juga penulis awal Intisari berpuluh-puluh tahun kemudian menjadi tokoh-tokoh  besar di bidang masing-masing. Sebut  saja Arief Budiman, Widjojo Nitisastro, Nugroho Notosusanto, Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi), dr. Ben Mboi, Santoso Cornain dan banyak lagi yang lain.

Beberapa penulis tetap mewarnai Intisari sampai puluhan tahun. Mereka menjadi “nama-nama besar” di kalangan pembaca Intisari. Sebut saja:

(Bersambung)