Akil Mochtar dan Timnas U-19

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Akil Mochtar dan Timnas U-19

Intisari-online.com - "Di negeri ini, alangkah terhormatnya orang yang berduit; alangkah hinanya orang yang tak punya; alangkah langkanya orang yang mau hidup sederhana."Itulah curcol K.H Mustofa Bisri atawa Gus Mus di akun twitter pribadinya. Saya yakin itu hanyalah sindiran Gus Mus terhadap maraknya korupsi di negeri ini. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin corruptio yang berarti pembusukan. Di Indonesia sudah menjadi budaya dan berlangsung demikian masif. Guru Besar Universitas Gadjah Mada yang sedang menyusun sebuah buku Antropologi Korupsi, Etty Indriati, sampai berujar, "Di sini masih banyak orang yang berpikir bahwa korupsi itu adalah hak, dan bukan sebuah dosa atau pelanggaran."Mungkin, cara pandang seperti itu pula yang membuat Akil Mochtar, Ketua MK, tergoda untuk menyalahgunakan jabatannya. Hingga akhirnya tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap. Akil mungkin lupa, efek yang diperbuatnya jutaan kali lebih besar daya rusaknya dibandingkan dengan seorang kepala desa yang korupsi. Posisinya sebagai "wakil Tuhan" di Bumi, pemimpin tertinggi MK, dan benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia jelas telah menghancurkan hati seluruh rakyat di republik ini.Maka jangan heran kalau sejumlah orang berpikir bahwa demokrasi yang saat ini ada di Indonesia cuma sekadar demokrasi prosedural. Esensinya adalah korupsi berjamaah. Proses pembusukannya kronis dan akut. Dan, cepat atau lambat, Indonesia sedang menuju ke arah negara gagal (failed state). Benarkah Indonesia menuju failed state? Untunglah tidak semua anak bangsa berpandangan seperti itu. Salah satunya Hilda, kenalan saya di "twitterland". Ketika banyak orang menulis status pesimistis dan menghujat karut marutnya tata kelola negeri ini karena kasus Akil, dia justru menulis seperti ini."Jangan katakan ini akhir. Jangan katakan kita akan tenggelam bersama, bangkitlah anak negeri."Dari kacamata positif justru bisa dilihat, terbongkarnya kasus Akil membangkitkan optimisme penegakan hukum dan keadilan, sekaligus mendidik bangsa ini. Sementara saya sendiri juga percaya bahwa Indonesia belum akan tenggelam. Terutama setelah melihat penampilan Timnas Sepakbola U-19 yang saat ini sedang ramai dipergunjingkan publik.Lho, apa hubungannya timnas U-19 dengan pesimisme bangsa akibat korupsi yang masif? Memang tidak ada hubungannya. Tapi setiap melihat aksi anak-anak muda kita tersebut di lapangan sepak bola, entah kenapa, semangat saya bahwa Indonesia bisa bangkit jadi membara. Sepanjang lebih dari 20 tahun pengalaman saya menonton pertandingan timnas, belum pernah saya melihat permainan timnas sebagus dan sesemangat itu. Seolah saya sedang menyaksikan tim lain. Bagaimana tidak, sebelumnya mata saya yang terbiasa melihat timnas kita menjadi bulan-bulanan, eh, kali ini justru yang menjadikan tim lain sebagai bulan-bulanan.Sebenarnya bukan masalah teknis yang membuat saya kagum. Yang membuat saya lebih terpesona adalah bahasa tubuh mereka setiap melakukan selebrasi gol. Kalau tidak melakukan sujud syukur, ya bersimpuh dengan tangan berdoa di dada. Belum lagi dengan kebiasaan para pemainnya untuk mencium tangan orang yang lebih tua. Baik itu pelatih maupun orang lain. Benar-benar hal langka yang belum pernah saya jumpai di timnas-timnas sebelumnya.Terlepas dari itu, mereka seperti mematahkan anggapan sebagian besar orang bahwa sepakbola Indonesia sedang memasuki fase tenggelam. Mereka juga seolah mengajarkan kepada saya, asal punya kemauan dan niat, kita tidak akan mungkin terkubur.Coba dengar pernyataan Evan Dimas, sang kapten tim, "Yang tidak bisa dikalahkan itu cuma Tuhan dan orangtua."Luar Biasa!