Religius Kok Korupsi?

Lily Wibisono

Penulis

Religius Kok Korupsi?

Intisari-Online.com - Disadari atau tidak, dinikmati atau tidak, headline berita kita belakangan dikuasai oleh berita tentang korupsi. Pertanda proses pemberantasan korupsi masih terus berjalan. Tapi juga tak menjamin penyelesaian yang memuaskan.

Buktinya, terpidana kasus korupsi simulator SIM Irjen Pol Djoko Susilo dihukum hanya 10 tahun perjara dan Sudjiono Timan hanya 15 tahun untuk kasus korupsi bantuan likuidasi Bank Indonesia.

“Vonis hakim Pengadilan Tipikor di Indonesia bisa dikatakan anti demokrasi. Bagaimana bisa dikatakan demokrasi jika keputusan vonis bagi pelaku koruptor tidak mengakomodir rasa keadilan masyarakat, bahkan tidak mendengarkan aspirasi masyarakat," tegas Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Hasrul Halili September lalu.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada awal tahun ini, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta saja, dari 240 terdakwa yang diadili sejak 2005 hingga 2009, vonis yang dijatuhkan ringan, yaitu rata-rata hanya 3 tahun 6 bulan. (Kompas, 19/1).

Bahkan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja di Jakarta, Sabtu (7/9), menyimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan.

Bandingkan dengan hukuman yang ditimpakan pada mantan walikota Detroit, AS, Kwame Kilpatrick, yang dijatuhi 28 tahun penjara karena terbukti korupsi.

Nama baru yang belakangan mulai berkibar di ranah kasus korupsi adalah Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang belum lama ini dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Akil menambah panjang deretan nama punggawa-punggawa peradilan, yang dituduh mencederai integritas lembaga peradilan di negara ini.

Di Australia pun ada praktisi peradilan yang terbukti keluar dari rel, seperti Trevor Howard Brickhill. Pengacara di Negara Bagian Australia Barat ini baru saja dijatuhi hukuman denda Aus$10,000, 12 bulan penjara (ditangguhkan) karena dua pelanggaran hasil penyidikan Komisi Kriminal dan Korupsi. Hukuman yang paling telak adalah dicabutnya izin praktik pengacaranya akibat dia telah menganjurkan pemusnahan beberapa dokumen penting.

Di ranah korupsi adalah Corruption Perception Index 2011 yang dilakukan oleh Transparancy International. Pemetaan tingkat bersih korupsi negara-negara dilakukan dengan gradasi warna dari kuning muda (sangat bersih) sampai orange merah tua. Menyedihkannya, peta dunia dalam soal korupsi ternyata cenderung berwarna orange dan merah.

Bila hasil ini dijajarkan dengan Global Religiosity and Atheism Index for 2012 (Win-Gallup International), ternyata negara-negara dengan religiusitas tinggi korupsinya semakin merah membara.

Dalam skala 10 – 1, AS dengan nilai indeks bersih korupsi 7,1, hanya 60% penduduknya yang mengaku religius. Australia dengan nilai indeks bersih korupsi 8,7, hanya 37% yang mengaku religius. Kanada dengan nilai indeks bersih korupsi 8,7, hanya 46% penduduknya yang mengaku religius.

Tetapi Kenya yang 88% penduduknya mengaku religius, nilai indeks bersih korupsinya hanya 2,2. Sedangkan Indonesia, tidak termasuk dalam negara yang disurvei, tetapi kita dapat berkaca pada Malaysia yang tingkat religiusitasnya tinggi (di atas 80%) dan nilai indeks bersih korupsinya hanya 3.

Padahal agama mana pun mengajarkan integritas, kejujuran, dan keadilan sosial. Integritas itu sesederhana anak kecil yang mengatakan asam adalah asam, manis adalah manis; mengambil yang bukan haknya adalah mencuri; mengatakan “ya” padahal “tidak” adalah berbohong.

Ketika putih dan hitam tak ada lagi karena digantikan abu-abu, maka meja hijau pun luntur menjadi panggung dagelan, layaknya OvJ; hanya yang ini harus dibayar mahal oleh seluruh bangsa.